Minggu, 09 Februari 2014

Surga itu simpel: ketika tiada lagi daratan untuk ikan


          Kali pertama ungkapan ini terdengar adalah dari salah satu buku Sankara, seorang tokoh berpengaruh dalam Hindu di India, yang menempatkan Tuhan sebagai objek kajian utamanya dalam bukunya tersebut. Di dalamnya, ungkapan di atas diletakkan di bagian paling depan di bab terdepan. Lebih tepatnya, itu berada dalam sebuah pembahasan tentang bagaimana seseorang berpotensi menggapai Tuhan secara live tanpa embel-embel apapun. Dan tersangkut di dalamnya juga surge dan neraka yang notabenya tak lain hanyalah sebagai reward atau balasan dari apapun yang pernah dilakukannya di dunia. Sehingga kesimpulan simpelnya: jika seseorang sudah berhasil mendekati Tuhan—dengan cara apapun itu—pasti reward dari kehidupannya itu juga akan turut terkatrol.
Kedua kalinya, ketika ungkapan itu dipahami, tidak ada sedikitpun yang istimewa darinya kecuali sebuah kenyataan kalau memang ikan itu tidak membutuhkan sebuah daratan. Namun, jika kita kupas lebih teliti lagi, maka ada sebuah pengertian yang baru tentang surga di dalamnya. Dan mungkin pengertian itulah yang menjadi alasan utama mengapa tulisan ini harus ada.
Selama ini, surga dipandang dan dibayangkan hanyalah sebagai sebuah tempat tanpa penderitaan, tanpa kesedihan, tanpa hawa nafsu, dan tanpa lain-lainnya. Minimal, menurut pendapat yang lebih bisa dipertanggung jawabkan, surga itu adalah sebuah tempat yang ada sungai mengalir di setiap sudutnya meskipun tidak ada yang tahu bagaimanakah penafsiran yang baik tentang sungai yang mengalir tersebut. Namun, ketika dalam memaknai surga dengan berkaca pada ungkapan ini, surga bukan lagi sesuatu yang butuh pada penafsiran yang disama-samakan dengan apapun yang paling diinginkan di dunia.
Lebih detailnya, itu tertulis: ketika tiada lagi daratan untuk ikan. Dalam arti, ketika memang semuanya hanya tinggal laut, tiada daratan, dan tiada lagi kehidupan makhluk darat, maka satu-satunya yang berkuasa adalah ikan karena memang hanya kelompok merekalah yang masih hidup. Begitu juga dengan surga, akan lebih tepat jika surga dibayangkan sebatas ketika hanya seorang itulah yang memilikinya. Boleh jadi, hal itu juga disebut sebagai simbol keserakahan manusia. Sebab, sesuatu yang terbayangkan adalah apapun dan dimanapun itu miliknya. Surga itu keserakahan meskipun statusnya adalah sebagai reward.zev050214


   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar