Selasa, 08 Januari 2013

DOSENKU SEPERTI LUMIA 800


ketika kita sedang melihat kereta api dalam keadaan mempunyai masalah dengan kampus, banyak kemungkinan pikiran kita akan mengikat sedikit spekulasi tentang kereta tersebut.
terdapat banyak sekali gerbong yang mengekor dibelakangnya bahkan ditambah berapapun gerbongnya masihlah elok dan layak disebut dengan ka. yang lajunya begitu cepat, namun semua itu tergantung pada satu gerbang paling depan, yaitu gerbong mesin.

begitupun dengan dosen, megahnya kampus, dan lengkapnya fasilitas tanpa banyak tanda tanya kita pasti akan mempunyai asumsi yg sama dengan kereta api diatas. dosen bagai gerbong mesin, yang bagaimanapun juga arti hadirnya adalah yang menentukan jalan tidaknya belasan gerbong di belakangnya. dapat diambil kesimpulan bahwasanya sekecil apapun sebuah universitas, itu tergantung pada manusia yang bernama dosen ini.
                       
tapi ketika kita sadar dan terbangun dari mimpi mimpi kita, banyak mahasiswa yang bukan kualitas dosennya yang mereka jadikan almameternya namun malah seberapa tenarkah kampus mereka. ironis memang, satu aspek mendukung bahwa kecondongan mereka terhadap kuantitas kampus memang sangatlah wajar. karena sulit dirasa kalau kampus berkelas enggan menerima dosen-dosen yang tidak berkualitas.

aspek lain, hal seperti ini pun ternyata memicu kesenjangan sosial. tak sedikit fakta yang mengutuk bahwa kampus level teri hanya berdosenkan guru-guru yang tak berkualitas. dan terpantik dari situ, dalam hal ini tidak ada pihak yang salah dan menyalahkan, semua serba dilema.

menindaklanjuti problema itu, saat ada keputusan vonis "tak ada yang harus disalahkan", bukan berarti tulisan ini harus cukup sampai disini, tidak. namun, dalam masalah ini harus ada pihak yang merasa salah yang "future implikasinya" nanti adalah sebagai problem solving atas dilematika yang terjadi.

ada ungkapan sederhana namun nylekit, "skg teknologipun sudah bisa menggantikan dosen, apalagi dosen yg killer", andai penulis dosen pasti akan saya tambah "skg dosen pun lebih suka seperti wp 7 nokia lumia 800, hehe"
pertanyaannya, kenapa sampai segitunya para dosen di pandang satu mata? jawaban pertama, karena dosen dosen skg apalagi yang di naungi oleh institusi2 ataupun sekolah tinggi swasta itu kurang bisa berbangga dengan almameter yg dikenakannya, pengennya semua serba berkelas hingga akhirnya mereka tak lebihnya hanyalah seorang guru smp yang tanpa hadirnya pun anak2 didiknya bisa mendapatkan sesuatu yang lebih dari teknologi.

Kedua, kadar kedosenan seseorang itu secara mudah dapat diketahui lewat produktifitasnya dalam berkarya. sebab hanya dengan satu cara inilah mereka bisa melepas kutukan rival beratnya tadi (teknologi). tak jauh berbeda dengan wp 7 lumia 800, dari segi tampilan serta labelnya, wp 7 lumia bisa menarik banyak konsumen sampai sempat menggeser sistem kinerja android di pasaran. tapi ketika tahu produk wp 7 lumia 800 itu tak bisa di upgrade menjadi wp 8 ataupun 10, pemasarannya pun derastis menurun, harga jualnya pun menjadi rendah. Dan seperti itulah dosen yang tidak bisa mengupgrade pribadinya lewat produktif berkarya, harga jualnya pun lama-lama tak ubahnya wp 7 lumia 800. Lebih terasa mending, kala sesuatu yang menaunginya tadi selevel microsoft dan nokia, coba kalau selevel cross ataupun mito, "apa yang akan terjadi?".

Kadang, memang menjadi dosen tak semudah mengayuh becak, tapi tentu bukan masalah untuk satu jam dari 24 jam kita, kita gunakan untuk berbenah. Sedikit banyak, mahasiswa pasti membutuhkan motivasi dan perhatian lebih dari dosen, sebab hanya dg itulah mahasiswa bisa merasakan sentuhan langsung kasih sayang dari dosen, dimana tak akan pernah mereka dapatkan dari teknologi manapun. Pun terfikirkan, untuk menepis ungkapan miring tentang dosen, tak ada salahnya jika dosen- dosen itu bisa bersaing dalam menelorkan karya-karya dan pemikiran mereka, lewat menulis simpelnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar