Selasa, 19 November 2013

Farabi, Avicena: bayangan dan bendanya itu tidak bisa dibedakan (Kajian Teori Emanasi)[1]


Jika benda bergerak ke kanan, maka bayangnya pun bergerak ke kanan. Hal itu juga membuat sebuah kereta bisa berjalan karena adanya rel. Seandainya kereta api tidak mempunyai rel, maka adanya itu tidak mungkin karena sama dengan ketiadaannya. Begitu juga dengan bayangan, bayangan tanpa sumber bayangan itu juga ketidakmungkinan. Dengan demikian di antara keduanya itu satu. Satu dalam suatu masa dan entitas yang sama.
Dan masih satu inti dengan itu, begitu juga dengan Tuhan. Menurut al-Farabi dan Avicena dengan teori emanasinya—teori pemancaran—Adanya Tuhan itu tidak lepas dari zaman dan dzat. Teori tersebut bercabang ganda: satu, mengenai kekodiman Tuhan yang hanya pada dzatnya saja dan dua, mengenai dzat dan zaman. Dan di dalam kedua pendapat tersebut menurut saya memiliki core yang sama tempat alam ini dipandang qodim, sama halnya dengan Tuhan.
Lebih detailnya, pendapat pertama dijelaskan bahwa kodimnya Tuhan itu hanya pada dzatnya saja, sedangkan zamannya tidak. Hal tersebut disebabkan adanya sebuah keharusan kebersamaan antara Tuhan dan zamannya. Tuhan ada tanpa adanya sebuah masa adalah ketidakmungkinan—seperti bayangan dan bendanya tadi—sehingga bagaimanapun juga dzat Tuhan yang kodim pasti bersamaan dengan zamannya. Kemudian jika keduanya bersama,itu menimbulkan kemungkinan ganda: pertama, keduanya sama-sama hadist atau baru dan kedua, keduanya qodim. Dan karena dzat Tuhan tidaklah mungkin baru, maka kesimpulan yang paling tepat adalah kesimpulan yang pertama, yaitu antara Tuhan zamannya—alam ini—adalah sesuatu yang sama-sama qodim.
Berlanjut kepada pendapat yang kedua, yaitu Tuhan itu kodim secara dzat dan zaman. Hal itu menimbulkan suatu kesimpulan bahwa Tuhan itu lebih dulu dari alam ini dari segi zamannya. Ini berarti bahwa sebelum ada zaman, telah ada suatu zaman lain—zaman al-adam—dan hal ini adalah ketidakmungkinan. Bagaimapun juga sebelum ada zaman untuk alam ini sudahlah ada suatu zaman untuk Tuhan, dan apapun nama zaman itu masihlah juga dinamakan sebuah waktu atau zaman. Dengan demikian, kesimpulan untuk paragraf ini tidaklah jauh dengan kesimpulan pargarf sebelumnya: Tuhan qodim dengan zamannya yang kodim. Alam ini Kodim.
Masih dalam ruangan ini, Ghozali memberikan suatu corak lain yang bergerak berlawanan dengan pemikiran di atas. Itu adalah tentang pembedaan antara zaman untuk alam ini dan zaman untuk Tuhan. Zaman untuk Tuhan itu satu dengan Tuhan itu sendiri—sama dengan kalam Tuhan yang satu dengan-Nya—sehingga hal itu dirasa kurang tepat jika dipandang adanya kesamaan antara zaman untuk alam ini dna zaman untuk Tuhan.
Dan sekarang, untuk hari ini, saya memikirkan, alangkah lebih baiknya jika pendapat yang mengatakan: bagaimanapun juga Tuhan pasti terikat dengan zaman, itu dihilangkan. Sehingga—mengutip bahasanya Pak Muhdlir—semua ini rampung. Tuhan itu tidak mempunyai waktu dan tempat, keadaannya karena ke-Tuhanannya itu sendiri bukan karena perluanya zaman yang menaungi ataupun tempat. Dalam wilayah lain, jika Tuhan dipandang masih bersama zaman, maka pandangan yang harus diambil juga adalah bahwa Tuhan bersama tempat. Dan hal itu adalah mustahil. Dengan demikian Tuhan dengan zaman juga mustahil.zev171113



[1] Abuddin Nata, 1993, ILMU KALAM, FILSAFAT, DAN TASAWUF, Jakarta Utara: RajaGrafindo Persada, hlm. 97.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar