Rabu, 18 Desember 2013

Manganan dan Islam


Dari berbagai Aspek yang telah dijelaskan: mulai dari unsur kebersamaan, kerukunan, perhatian, dan sebagainnya, yang sudah terkover dalam satu ritual ini, dalam kacamata Islam ritual ini masih dipandang baik-baik saja. Karena semua itu memiliki dampak positif seperti apa yang diinginkan Islam pada umumnya, yaitu kemaslahatan. Selain itu, dewasa ini, hal seperti itu juga tidak sampai membawa seseorang untuk meninggalkan ajaran monoteismenya. Meskipun, mereka makan-makan di pemakaman leluhur, tetapi nuansa yang ada masihlah cenderung kepada nuansa Islami. Hal itu bisa dilihat dari bagaimana cara mereka berpakaian—menggunakan peci dan sarung—dan bagaimana cara mereka mengirim doa agar diberi keselamatan: melalui doa-doa dalam Islam. Dengan demikian sampai pada titik ini, tidak ada yang perlu dipermasalahkan.
Akan tetapi jika manganan dilihat lebih perinci, ada satu hal yang masih ganjil dibenak kebanyakan muslim: adanya sesaji.  Dalam satu pihak, dengan adanya sesaji, itu berarti mengakui adanya kekuatan yang maha kecuali Allah atau mudahnya adalah syirik. Sehingga kepercayaan masyarakat dalam pengesaan Tuhan itu tidaklah murni dan total karena ada unsur lain yang dipercaya bisa menghindarkan mereka dari apapun yang tidak mereka inginkan. Dalam arti, sesuatu yang dimohon itu bukanlah Allah , tetapi roh leluhur tersebut. Dan hal tersebut sangatlah tidak dipebolehkan dalam Islam sebab yang hanya boleh dimintai pertolongan adalah Allah semata.
Merespon itu, ada beberapa metode memandang Islam dalam tradisi tersebut. Pertama adalah pendekatan konvensional,[1] yaitu pendekatan yang bersifat ekslusif, tertutup pada aspek tunggal, dan tidak menerima interkoneksi dengan aspek lainya. Sehingga darinya, satu-satunya kesimpulan yang ada adalah boleh dengan syarat: unsur sesaji harus dihapus. Namun, jika hal ini benar-benar diaplikasikan, maka bukanlah penyelasaian yang timbul, tetapi justru sebuah permaslahan baru akibat dari penghapusan sesaji.
Kedua adalah multidimensional,[2] pendekatan yang lebih bisa terbuka, bersifat inklusif, dan mampu menerima aspek lain untuk terlibat di dalamnya. Dalam arti, pendekatan ini juga harus dipahami dari banyak aspek sehingga dengan itu bisa diambil suatu kesimpulan yang objektif dan bisa diterima oleh masyarakat banyak. Berkenaan dengan itu, melalui kacamata ini, sebelum diputuskan bahwa unsur sesaji itu harus dihapuskan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terlebih dahulu. Dan itu adalah sisi budaya dan sisi tujuannya. Dengan demikian, ketika dari berbagai aspek sudah dikaji kemudian baru disimpulkan, maka pasti hasilnya akan lebih memuaskan.
Dari sisi budaya, ritual ini—manganan—tidak bisa lepas dari sejarah bagaimana manganan ini bisa ada dan menjadi tradisi. Kali pertamanya, manganan ada hanyalah sebatas sebagai ekspresi nyata dari kepercayaan masyarakat Jawa—khususnya daerah Tuban dan sekitarnya—akan hadirnya roh-roh yang dipercaya bisa berdampak baik bagi kehidupan mereka.[3] Namun, seiring berjalannya waktu dan pupusnya ajaran hindu dan jawa didalam ritual tersebut, masyarakat Jawa mengambil satu simbol sesaji tersebut hanyalah sebagi bentuk penghargaan terhadap tradisi mereka bukan sebagai wujud kepercayaan mereka secara murni. Jadi, meskipun mereka membuat sesaji ditengah-tengah manganan, bukan berarti mereka langsung mengalihkan keimanan mereka kepada roh-roh leluhur, tidak. Hal itu dilakukan hanyalah sebagai wujud penghargaan mereka terhadap tradisi yang selama berabad-abad mengayomi mereka dalam sebuah wadah pemicu kebersamaan dan kerukunan: manganan.
Selain itu, masih di wilayah budaya, selama ini manganan dipandang telah sukses untuk membuat pemandangan daerah tersebut menjadi nyaman, aman, dan rukun. Itu ada karena alur jalannya ritual tidak bisa lepas dari unsur-unsur yang sarat akan kebersamaan, saling berbagi, dan saling peduli. Sampai dikatakan, itu adalah simbol keselarasan antara masyarakat yang kurang mampu dengan yang kaya: masyarakat yang kurang mampu bisa merasa sederajat ketika berbaur dalam ritual ini. Dengan demikian, di titik inilah Islam benar-benar bisa ditemukan.
Selanjutnya adalah di wilayah tujuan. Dalam paragraf ini, singkat kata, adanya sesaji tak lebih hanyalah sebagai perantara atau wasilah bukan tujuan utama. Jika hal ini dipandang sebagai tujuan utama, maka jelas sudah kalau ritual ini bertentangan dengan norma Islam. Akan tetapi karena memang tujuan utama dari adanya sesaji adalah sebagai pendorong atau sesuatu untuk mempermudah seseorang agar bisa yakin sepenuhnya akan adanya satu dzat yang esa: Allah, maka tidak ada alasan untuk menolak satu hal ini.[4] Padahal juga, muslim dewasa ini tidak akan semudah itu beralih kepercayaan hanya gara-gara adanya sesaji dalam manganan. Selain itu, jika memang yang dipermasalahkan adalah kepercayaan atau akidah, maka sebelum menjawab soal tersebut, satu hal yang perlu diingat: kepercayaan itu berkenaan dengan hati yang sangat dinamis dan tidak bisa dipastikan.  
Mengenai teori-teori pendukung, ada Beberapa hal penting yang harus ada dalam merespon tradisi ini, antara lain:[5]
a.      Tradisi yang sudah ada, jika mengandung nilai positif dan tidak berseberangan dengan norma Islam, tidak usah diutak-atik.
b.      Menghilangakn unsur-unsur yang negatif, ada momen untuk menyakiti diri sendiri misalnya. Sebisa mungkin, perlahan semua itu harus dipupuskan.
c.      Jika tradisi dipandang bisa membahayakan kultur, perlahan semua itu harus dirubah hingga mempunyai core yang sama dengan Islam: rahmatan lil alam.
Dan dari ketga teori diatas, jika dihubungkan dengan uraian sebelumnya, maka hasilnya positif: tidak ada alasan untuk menolak tradisi tersebut meski dengan adanya sesaji.
Pada akhirnya, meminjam istilah Bapak Munawwir Sadzali: itu seperti halnya anggur di dalam botol, anggurnya dibuang dan diganti dengan air,[6] maka dari semua uraian di atas bisa digaris bawahi bahwa yang terpenting dalam ritual apapun itu adalah inti darinya. Manganan itu menjalankan Islam dengan kemasan Jawa. 



[1] M. Amien Rais (ed.), Islam di Indonesia suatu ikhtiar mengaca diri (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 89.
[2] M. Amien Rais (ed.), Islam di Indonesia suatu ikhtiar mengaca diri, hlm. 89.
[3]  Drs. H. M. Darori Amin, MA (ed.), Islam dan Kebudayaan Jawa, hlm. 6.          

[4]  Drs. H. M. Darori Amin, MA (ed.), Islam dan Kebudayaan Jawa, hlm. 124.
[5] M. Amien Rais (ed.), Islam di Indonesia suatu ikhtiar mengaca diri, hlm. 94.

[6] Drs. H. M. Darori Amin, MA (ed.), Islam dan Kebudayaan Jawa, hlm. 109.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar