Rabu, 04 Desember 2013

Mengapa Harus Manganan


Salah satu alasan yang paling bisa diterima dengan mudah oleh semua orang, lebih-lebih untuk para cendekiawan mengenai tradisi manganan adalah kebersamaan. Karena semua ritual-ritual yang selama ini menjadi satu-satunya alasan mengapa tradisi ini harus dipertahankan tidak bisa lepas dari satu unsur tersebut, kebersamaan. Selain itu, dari kebersmaan itu muncullah beberapa istilah lainnya, yaitu gotong-royong, kerukunan, dan pastinya adalah keharmonisan. Sehingga, jika tujuan awal dari tradisi klasik ini adalah hal-hal di atas, maka tidak ada alasan lain mengapa harus melupakan dan bahkan sebelah mata tradisi ini dengan kacamata agama.
Berbicara mengenai agama, sebenarnya dalam agama—secara historis—tidaklah melarang adanya hal-hal yang sinkret layaknya itu. Bahkan sebenarnya, agamalah yang harus menjinakkan dirinya sendiri.[1] Dalam arti, agama harus sebisa mungkin untuk mengalah dengan budaya setempat yang keadaannya lebih dahulu eksistensinya dari pada agama itu sendiri. Sekilas, hal itu memang terkesan menyudutkan agama ke dalam ruang tak berpintu, tetapi jika dipikirkan lebih cenderung kepada sisi aksiologisnya, maka hasilnya akan berbeda. Agama mengalah bukan tanpa alasan, namun itu membawa satu alasan yang kelihatannya hanya dengan itulah islam menjadi lebih bisa dipandang layaknya sebuah agama.[2]
Kembali kepada tradisi manganan, dalam beberapa ritual yang terjalani, ada beberapa yang ganjil dalam pandangan Islam, pembakaran dupa. Akan tetapi, karena itu masih kalah terang dengan manfaat yang lahir darinya, maka masihlah tetap sama: tradisi ini perlu dibudidayakan. Kenyamanan dan kerukunan masyarakat dalam menjalani tradisi itu menjadi prioritas terdepan mengapa ini harus dibudidayakan. Hal itu pulalah yang sesuai dengan apa yang ditulis Grunebaum dalam artikelnya: agama adalah sesuatu yang dapat dianggap oleh pemeluk dan calon pemeluknya sebagai sesuatu yang telah terkait erat dengan dunia mereka.[3]
Di wilayah lain, dalam manganan ada momen tempat saling menukar jajanan atau makanan yang telah dibawa oleh masing-masing masyarakat. Secara tersirat, melalui satu potret ini, bisa dikata kalau ritual ini juga memiliki fungsi yang sama dengan adanya zakat atau qurban dalam Islam. Zakat dan qurban diwajibkan dalam Islam kepada pihak-pihak dengan tujuan supaya terciptanya persamaan rasa antara orang-orang yang mampu dan yang tidak mampu. Dalam arti, dengan adanya zakat dan qurban diharapkan warga-warga yang tidak mampu bisa merasakan bagaimana enaknya makan daging dan bagaimana bahagianya jika sesuatu yang bisa mengepulkan asap dapur itu selalu ada. Seperti halnya itu, dari momen penukaran berkat, warga yang kurang mampu bisa memilih berkat-berkat  yang lebih istimewa dari punyanya. Dan hal itu ternyata sudah ada dalam manganan dan mungkin itu juga yang menjadikan tradisi ini mempunyai fungsi stimulus layaknya agama dalam pandangan Robertson Smith.[4] Itu bisa menjadi alasan tertentu mengapa masyarakat selalu bersemangat untuk manganan.
Dengan demikian, tidaklah salah, jika manganan masihlah menjadi tradisi istimewa di daerah-daerah tertentu di Jawa Timur. Dan dalam hal ini corak yang diambil adalah dari desa Kemuning, Semanding, Tuban, Jawa Timur. 



[1] Mien Joebhar, Ny. R. T. Abdullah, Ny. Emiwati, dan Chalidin bin Abu Bakar (1987), Sejarah dan Masyarakat Lintasan Historis Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus, hlm. 3.

[2] Gustave E. Von Grunebaum, modern Islam: The Search of Cultural Identity, New York: Ancore 1964, hlm. 20.

[3] Mien Joebhar, Ny. R. T. Abdullah, Ny. Emiwati, dan Chalidin bin Abu Bakar (1987), Sejarah dan Masyarakat Lintasan Historis Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus, hlm. 3.

[4] Raho, Bernard, Agama Dalam Perspektif Sosiologi (Jakarta: OBOR, 2013), hlm. 38.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar