Kamis, 19 Desember 2013

Menyebut, mempermasalahkan, dan menyangkutpautkan Pancasila adalah manifestasi untuk memancasilakan Pancasila


Satu hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini adalah mengenai pemahaman terhadap sebuah ideologi. Selama ini dan sampai saat ini, ideologi dasar bangsa: pancasila, seakan hanya menjadi pajangan dan pahatan yang fungsinya telah habis. Anggapan seperti itu muncul karena banyak kelompok yang memandang bahwa memang Pancasila itu sebagai Satu-satunya  ideologi bangsa yang paripurna dan lestari,[1] tetapi keduanya hanyalah tinggal bingkai sejarah. Mudahnya, Pancasila itu bisa berfungsi sebagai problem solver dari semua problematika hanya ketika dulu saja, pada masanya, bukan saat ini.
Padahal, secara teori, anggapan diatas tidak bisa begitu saja dibenarkan. Karena sesungguhnya dalam kata ideologi itu bukan berarti sebagai  ideologi secara murni saja: ideologi yang berbasis kepada nilai-nilai luhur bangsa dan latar belakang budaya Indonesia, tetapi juga mengandung arti lainnya, yaitu arti praktis: ideologi yang berpegang kepada pengalaman sejarah yang selalu berubah dan penuh dengan trial, sejak mulai revolusi kemerdekaan, percobaan demokrasi liberal, percobaan demokrasi terpimpin, periode pembangunan, dan sampai saat ini.[2] Dan itu berarti kalau Pancasila selaku ideologi bangsa tidak lagi sebagai pahatan tahun 45 atau teori yang hanya bisa digunakan untuk masa itu saja, tidak. Akan tetapi, itu merupakan suatu fundamental yang bisa dijadikan rujukan untuk semua masa tergantung bagaimana ideologi tersebut bisa dipahami secara praksis bukan hanya murni.
Lebih dalam lagi, ketika suatu ideologi hanya dipahami secara murni, maka hasil yang akan muncul tidaklah berbeda dengan abstrak yang tertulis di paragraf pertama tadi. Namun, kalau itu diimbangi dengan pemahaman secara praksis—yang lebih mengedepankan perubahan pengalaman-pengalaman sejarahnya—maka hasilnya pasti akan lebih baik. Hal itu bisa diibaratkan dengan pendekatan normatif dan historis dalam memahami sebuah agama. pendekatan historis saja tanpa normatif akan kabur, begitu juga dengan praktis saja tanpa murni. Dengan demikian, kedua hal tersebut harus saling menunjuk, kemudian bekerja sesuai tempatnya masing-masing. Karena dengan adanya balance antara keduanya, Pancasila tidak lagi dianggap sebagai suatu yang basi dan tidak lagi perlu untuk disebut, tidak. Akan tetapi justru Pancasila akan selalu dikejar untuk bertanggung jawab dalam penyelesaian bermacam problematika bangsa.
Dan akhirnya, jika pola pikir bangsa sudah diatur sedemikian rupa, maka untuk sekedar tidak melibatkan atau menyebut Pancasila dalam setiap problematika bangsa saja merupakan suatu kesalahan yang besar. Jadi, disamping masyarakat bisa berfikir kembali untuk menyelesaikan masalah berdasarkan Pancasila, itu juga bisa berdampak pada pemulihan anggapan masyarakat Indonesia yang selama ini bisa dikata telah melupakan Pancasila.
Kemudian, darinya, secara otomatis, bagaimanapun juga jika pikiran sudah terstruktur dengan basis pancasila, cara berfikirnya pun pasti merujuk kepada nilai-nilai Pancasila. Dan hal inilah yang diharapkan bisa memperbaiki keadaan Indonesia dewasa ini. Itu semua tidak akan menjadi spekulasi semata jika Pancasila bisa lebih sering untuk disebut, dipermasalahkan, dan disangkutpautkan oleh para pemimpin bangsa khususnya dan oleh segenap masyarakat umumnya dan sebagai contoh konkritnya: alangkah lebih indahnya jika dalam setiap sidang-sidang soal rakyat oleh DPR, MPR, dan segenap lapisan badan formal negara diawali dengan pembacaan dan pereneungan sejenak tentang Pancasila. Itu tak lain agar terciptanya nuansa yang benar-benar Pancasila di Indonesia ini.



[1] Riza Noer Arfani, Demokrasi Indonesia Kontemporer (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996) hlm. 42.

[2] Riza Noer Arfani, Demokrasi Indonesia Kontemporer,  hlm. 41.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar