Kamis, 12 Desember 2013

HAJI


Sepertinya sudah beberapa dekade ini, kata haji yang sering dijadikan gelar di depan nama orang-orang yang pernah haji menjadi buah bibir di kalangan tertentu. Itu disebabkan oleh adanya ketimpangan di dalamnya. Dalam arti, seseorang yang sudah bergelar haji bagaimanapun juga harus bertingkah dan berinteraksi layaknya seorang haji. Akan tetapi yang terjadi di dalamnya berbeda: semua harapan tentang itu tidak sesuai dengan kenyataannya. Bahkan kenyataan akan itu malah kontras dengan sesuatu yang diharapkan dalam kata haji tersebut. Dengan demikian tidaklah salah jika gelar haji, dewasa ini, dipandang sangat miring dan tidak sesuai dengan harapan. Hal itulah yang layak disebut sebagai masalah: antara das sein dan das sollen tidak senada.
Dalam sejarahnya, gelar haji ada bukan tanpa sebab. Hal tersebut sudah ada sejak kali pertama Indonesia dijajah oleh Belanda. Haji ketika itu adalah sesuatu yang sangat langka, boleh jadi dalam satu kota hanya ada seorang yang berangkat haji. Dan itu disebabkan oleh sulitnya transportasi dan pastinya adalah biaya untuk pergi ke Makkah ketika itu. Sehingga ibadah ini hanya bisa dilakukan oleh kelompok-kelompok tertentu yang mampu dalam banyak hal: biaya, pengetahuan, dan keberanian. Selain itu, dulu, haji pun adalah salah satu kegiatan yang dikecam pemerintah Belanda karena dicurigai darinya bisa melahirkan benih-benih pemberontak dan pemikir yang mampu menggulingkan Belanda. Jadi, merespon itu sebagai manifestasi akan kecurigaan tersebut Belanda mewajibkan siapapun yang pernah berangkat haji harus diberi gelar di depan namanya kata: haji. Dalam bahasa lainnya, hal itu adalah sebagai monitoring supaya mereka tidak macam-macam dengan Belanda.
Berkenaan dengan itu, bisa sedikit dicerahkan bahwa memang orang-orang yang haji dulu dan mendapat gelar haji secara paksa oleh Belanda adalah orang-orang yang tidak sembarangan. Mereka adalah tokoh-tokoh yang pemberani, cerdas, dan baik penghayatan keagamaannya, sehingga belanda pun perlu memberi mereka pengawasan tersendiri buat mereka. Selain itu, jika hal itu diamati sekali lagi, maka satu hal yang ganjil, yaitu tentang pemaksaan gelar. Ternyata gelar haji yang selama ini banyak dibangga-banggakan itu, dulunya, adalah suatu gelar yang sangat tidak diinginkan oleh para pahlawan-pahlawan bangsa. Darinya muncul pertanyaan susulan: mengapa sesuatu yang dulunya sangat tidak diinginkan oleh tokoh-tokoh berkaliber seperti mereka, sekarang malah dicari-cari bahkan dijadikan tujuan utama? entahlah

Merespon itu, bagaimanapun juga itu adalah masalah hak masing-masing individu. Akan tetapi, alangkah lebih baiknya—meski gelar haji masihlah banyak dijadikan prioritas utama—jika yang harus mendapat gelar bukan hanya siapa itu yang pernah berangkat haji, namun siapa saja yang baru saja melakukan sholat, zakat, dan puasa harus juga mendapatkan satu gelar: S untuk sholat, Z untuk zakat, dan seterusnya. Sehingga dengan hal itu sesuatu yang timbul itu bukanlah ketimpangan, tetapi keselarasan. Keselarasan antara yang kaya: yang bisa haji dan mendapat gelar dengan yang miskin: yang tidak bisa mendapat gelar haji, tetapi bisa mendapat gelar yang lebih banyak, yaitu S, Z, dan P.Zev121213   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar