Selasa, 15 Oktober 2013

Islam dan Masyarakat (Konstruksi Nyata Islam Historis)


agama adalah sesuatu yang dapat dianggap oleh pemeluk dan calon pemeluknya sebagai sesuatu telah terkait erat dengan dunia mereka.
(Gustave E. Von Grunebaum)[1]
Untuk merespon salah satu ungkapan Grunebaum di atas, masih ada beberapa pertanyaan terkait dan terikat: Apakah dengan penerimaan islam berarti mengorbankan semua budaya yang telah lama melekat pada sebuah tatanan masyarakat.[2] Jawaban paling disepakati adalah tidak. Penerimaan islam bukan penghilangan kultural-kultural pra-islam, tetapi sebatas kelanjutan dari kultural yang usai mengakar di suatu wilayah. Islam bukan asimilasi. Islam itu Akulturasi.
Jika islam masih ingin dikata sebagai agama, bagaimanapun juga, Islam harus mengalah. Adat setempat perlu dimenangkan. Tetapi tetap pada tujuan awal, doktrin Islam mengalah bukan tanpa tujuan. Tujuan inti dari pengalahan doktrin dengan budaya setempat adalah untuk menyelaraskan kebutuhan para pemeluk islam maupun calon pemeluk dengan kebutuhan-kebutuhan mereka sebagai manusia yang berbudaya dan bersosial. Selama pengalahan doktrin Islam akan budaya setempat dipandang lebih banyak mengandung kemaslahatan dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan di atas, maka tidak ada yang salah dengan pengalahan doktrin Islam.
Namun sebaliknya, jika dipandang dengan manifestasi agama sebagai hasil akulturasi doktrin dan sosial budaya masih saja tidak bisa menemukan apa yang dicita-citakan, akulturasi ini tidak diperlukan. Seperti halnya apa yang telah dilakukan Gandhi dan Tagore. Sebagai sesosok nasionalis yang hidup ditengah-tengah ajaran Hinduisme dan kultur yang konservatif di India, mereka melakukan pembaruan dengan basis yang bertitik tekan pada keselarasan antara agama mereka dengan kebutuhan hidup yang pasti mengalir dengan peredaran zaman (akhir abad XIX).[3] Alasan yang mereka gunakan adalah keselarasan antara agama dan kebutuhan hidup, bukan agama dan budaya. Dengan demikian, agama tidak hanya perlu luwes dengan budaya masing-masing pemeluknya, seperti yang ada dalam Islam di Indonesia. Keluwesan akan dinamika zaman yang bertepi pada majemuknya kebutuhan pemeluk juga dibutuhkan.
Lebih fokus kepada Islam dan masyarakat Indonesia, dalam sejarah telah kentara bahwa Islam menyebar luas ke semua pelosok Nusantara tidak menggunakan topeng Timur Tengah. Islam menjelma menjadis sesosok yang akrab dengan budaya setempat. Menyadari karena sebenarnya Islam bukan hanya bertugas untuk menjinakkan objek tujuannya, namun juga menjinakkan dirinya sendiri.[4]
Tindakan seperti itu dapat dilihat dari manifestasi agama yang dilakukan oleh walisongo. Walisongo melakukan itu bermula dari benturan-benturan yang terjadi  antara budaya dengan doktrin Islam. benturan tersebut memaksa Islam untuk menggunakan topeng atau simbol-simbol kebudayaan setempat sebagai penyelaras agar dapat ditangkap oleh masyrakat setempat.[5] Konkrtinya adalah Sunan Maulana Makhdum Ibrahim dengan strategi bonangannya di Tuban Jawa Timur. Dengan membaca keadaan masyarakat yang suka sekali dengan alat musik bonang, hanya bertiket wudlu dan membaca syahadat, masyarakat setempat bisa menikmati alunan musik bonangan yang diadakan beliau tanpa biaya sepeserpun. Secara doktriner alat-alat musik semacam itu adalah haram, namun karena Islam dipandang secara historis dan atas nama kemaslahatan dan pemenuhan kebutuhan, potret itupun menjadi bingkai sejarah yang menarik untuk dibahas juga diterapkan.
Di wilayah lain, memang tidak bisa dipungkiri, keadaan seperti di atas, dapat menimbulkan penafsiran yang agak terpisah dengan wahyu yang utuh dan abadi.[6] Tetapi meminjam istilahnya Bapak Taufik Abdullah: Bagaimanapun juga, penghayatan agama harus didekati dengan menanggalkan untuk sementara keyakinan pribadi. Toh, kesimpulan tersebut bukan berarti memang wahyu yang utuh di atas yang salah. Bisa jadi, penafsiran akan itu yang justru tidak sesuai bukan wahyunya.
Dengan demikian, berbasis pada keselarasan antara budaya dan agama yang berujung pada pemenuhan kebutuhan masing-masing pemeluknya, pendekatan Islam Historis diharapkan mampu menjadi salah satu perumusan yang ideal dalam menjawab dinamika zaman.





[1] Gustave E. Von Grunebaum, modern Islam: The Search of Cultural Identity, New York: Ancore 1964, hlm. 20.
[2] Mien Joebhar, Ny. R. T. Abdullah, Ny. Emiwati, dan Chalidin bin Abu Bakar (1987), Sejarah dan Masyarakat Lintasan Historis Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus, hlm. 3.
[3] Salah satu artikel W.F. Wertheim (penulis Indonesia soceity in transition) yang telah diterjemah: gerakan-gerakan pembaruan agama di Asia Selatan dan Asia Tenggara.
[4] Mien Joebhar, Ny. R. T. Abdullah, Ny. Emiwati, dan Chalidin bin Abu Bakar (1987), Sejarah dan Masyarakat Lintasan Historis Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus.

[5] Ibid.
[6] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar