Sabtu, 23 November 2013

Mengapa Saya Seperti Ini Sekarang, Mengapa Saya di Sini Sekarang, dan Mengapa Saya Tidak Mengerti Sekarang (Kegelisahan Saya dan Kegelisahan Karl Marx)

Ketiga pertanyaan di atas spontan muncul dalam benak saya selepas sholat dluha. Dan hal itu bukan untuk kali pertamanya ini. Sering, hal-hal seperti itu menyelimuti hati dan perasaan saya. Selain ketiga hal di atas masih banyak perincian sesuatu lain yang sampai saat ini masih menggantung dalam benak. Beberapa darinya adalah tentang keadaan saya sekarang: mengapa saya dilahirkan dari kedua orang tua yang sekarang saya miliki? Mengapa tidak dilahirkan dari orang tua lain? Mengapa saya dilahirkan di Tuban dengan lingkungannya yang bersosial tinggi—daripada daerah Surabaya dan sekitarnya—dan mengapa pula sekarang saya terlempar di sini, di Jogjakarta? Entahlah.

Masih mengenai tanda tanya itu, saya berfikir: saya juga tidak pernah menginginkan semua itu, saya tidak mempunyai rencana ataupun sebagainya. Lantas, siapakah yang menginginkan dan merencanakan sesuatu ini? Dan jawaban yang paling tepat tentang itu—untuk sekarang—hanyalah tertuju kepada suatu dzat yang dalam agama saya saat ini, itu disebut sebagai Allah. Iya, Allah, Tuhannya Orang-orang Islam, Yahudi, Kristen, dan Nasrani.

Sebelum saya mencatat lebih lanjut, saya masih ingin mempertanyakan beberapa hal terkait. Itu adalah mengenai tujuan dari semua keinginan yang bukan milik saya di atas. Jika memang benar itu adalah keinginan dari-Nya, maka tiadanya tujuan akan hal itu adalah sebuah ketidakmungkinan. Semuanya pasti memiliki tujuan. Dan tujuan itulah yang membuat saya untuk berfikir kali keduanya.
Tujuan tersebut sangatlah abstrak, seabstrak hari-hari yang akan kita jalani besok setelah kematian. Dan dari ini, jika kita menggunakan salah satu metodologi dalam ushul fiqh—Qiyas—maka keduanya ber-core sama, yaitu ketiadaannya adalah ketidakmungkinan. Keabstrakan hari-hari setelah kematian sejajar dengan abstraknya tujuan Tuhan tentang persoalan-persoalan tersebut. Persoalan-persoalan tadi memiliki tujuan dan itu ada. Sehingga adanya hari-hari paska kematian itu bukanlah ketidakmungkinan, tetapi kepastian.

di wilayah lain, hal ini telah memberikan saya satu alasan lagi: mengapa saya harus tidak sepakat dengan pemikiran Marx tentang hari setelah kematian. Bagaimanapun juga, hari-hari itu layak untuk kita pikirkan demi kita sendiri dan itu bukanlah sebuah kesia-siaan ataupun ilusi belaka sebagaimana yang Mark tulis. Seperti halnya, kita perlu menghapus kegelisahan-kegelisahan yang timbul dari pertanyaan-pertanyaan di awal tadi dengan selalu memandang optimis dan positif tentang apapun tujuan yang akan tertulis untuk kita. Sehingga dengan memikirkan itu, semuanya menjadi jelas alasannya: mengapa kita lahir dari orangtua kita yang sekarang? Mengapa kita harus lahir di suatu daerah yang kita tidak pernah memiliki kesempatan untuk menentukannya? Dan mengapa kita seperti ini sekarang?


Pada akhirnya, sebuah hipotesis bisa ditulis bahwa pemimpinnya para pemimpin hidup bukan tanpa satu pemimpin tertinggi. Pemimpinnya para pemimpin dunia juga membutuhkan satu pemimpin yang mampu untuk menjawab semua persoalan-persoalan dalam hidupnya, termasuk beberapa persoalan di paragraf pertama tadi. Dengan demikian, saya mengatakan: baik dengan atau tanpa suatu institusi keagamaan, satu pemimpin tertinggi itu—Tuhan—pasti ada. zev241113

Tidak ada komentar:

Posting Komentar