Sabtu, 07 September 2013

Pikiran, Keadaan, dan Kecemasan


          Sudah lama sekali saya merasakan kecemasan dengan konstruksi seperti ini. Tapi waktu yang lama itu kayaknya masih belum bisa membuat saya bisa mengungkapkan kecemasan itu dalam bentuk catatan harian. Saya masih buta akan kosakata yang pas untuk membahasakan sesuatu yang sampai saat ini masih menyerang pikiran saya.
          Dan baru semenjak saya menginjakkan kaki di UIN Yogyakarta ini, saya mulai menemui banyak sekali pencerahan redaksi untuk saya tulis. Pertama saya terinsiprasi dengan Pramodya Ananta: salah satu penulis zaman pra kemerdekaan. Dalam salah satu bukunya dia membahas tentang pergolakan dalam pikirannya. Sehingga akhirnya Pram menulis sesuatu yang hingga saat ini masih dikenang dibenak para mahasiswa-mahasiswa muda: mahasiswa itu harus adil sejak dalam pikiran. Kedua adalah dari Gie. Dari catatan harianya saya sangat tahu sekali kalau hidupnya juga tidak bisa lepas dari kegelisahan pikiran yang tak bertepi, hingga maut menjemputnya. Saya bisa mengatakan kedua manusia hebat ini adalah korban gejolak pikirannya masing-masing.
          Saya tidak tahu juga, apakah kecemasan ini paralel dengan yang mereka cemaskan atau tidak. Yang pasti baru malam ini saya berani untuk membingkainya menjadi sebuah catatan.
          Adalah dari pikiran saya tentang salah satu teman cewek saya. Saya lupa namanya siapa. Setiap kali saya masuk kelas dan terlibat di dalamnya dengan teman-teman yang lainnya, dia selalu diam. Saya bisa merasakan bagaimana sulitnya memahami pelajaran yang tidak kita sukai. Mungkin dia juga merasakan itu. Dia termenung dalam kesendirian dan kebingungannya. Saya tidak pernah melihatnya di samperin sama teman-teman sekelas. Saya mengatakan dia kayaknya mengalami masalah dalam berinteraksi.
          Saya dan dia sama-sama membayar untuk belajar dan mendapatkan kasih sayang dari dosen maupun teman-teman di kampus ini. Namun, kenapa dengan basis yang sama hasil nyatanya bisa berbeda. Saya prihatin melihatnya. Dia belum mendapat semua yang telah saya dapat di kampus ini.
          Dalam wilayah lain, saya sering merenung tentang tukang becak yang setiap pagi sampai malam menunggu di pinggir angkringan tempat saya, Nasikin, Sukran, dan Albab biasa sarapan. Beliau menunggu sesuatu yang bagi saya sangat tidak pasti: penumpang. Tukang becak itu harus menghabiskan waktu sebanyak itu setiap harinya untuk menunggu penumpang. Dan hal itu disebut sebagai pekerjaan di negeri ini.
          Di waktu yang sama, saya melihat banyak sekali mobil-mobil kelas atas, seliweran ngalor ngidul melewati tukang becak tadi. Sejenak pikir saya: apa yang membedakan mereka sehingga mereka bisa berbeda jauh. Saya ingin sekali mengetahui masing-masing kisah hidup keduanya. Apakah pola hidup mereka berbeda ataukah sama. Siapa di antara mereka yang sering meremehkan waktu. Saya tertarik untuk mengetahuinya.

          Kadang, saya terhanyut dalam kecemasan saya sendiri. Sehingga kecemesan itu membuat saya balik bertanya pada diri saya sendiri: apa usahamu untuk mengatasi kecemasan itu. Saya merasa malu, saya masih belum bisa. Saya hanya mahasiswa baru yang ingin sekali tahu tentang mereka di saat yang sama ketika dulu mereka seumuran saya. Kecemasan ini tak bertepi tapi hanya sebatas dalam pikiran.zev.070913

Tidak ada komentar:

Posting Komentar