Kamis, 19 September 2013

Ujung Akhir dari Ilmu Pengetahuan Adalah Awal dari KEYAKINAN


          Salah satu dimensi yang tidak bisa dipungkiri adalah dimensi sejarah. Sejarah tidak lagi retorika ataupun teori omong kosong, tetapi bukti nyata sebuah teori di masa lalu yang sudah menyata, sehingga disebut sebagai sejarah. Apalagi itu berbasis pada satu masterpiece yang tak diragukan  lagi kebenarannya: Al-Quran. Sudah pasti bagi golongan tertentu itu adalah satu frame nyata yang perlu untuk kaji dan ditiru. Dalam ilmu tulis-menulis, itu adalah acuan yang pas untuk dijadikan benchmarking.
          Acuan sejarah itu adalah tentang Ibrahim. Dalam pendekatan teologis, nama Ibrahim berperan urgen dalam membidani lahirnya disiplin keilmuan ini. Dalam bukunya “Pengantar Studi Tauhid”, bapak Zuhri menyebutkan ada tiga pilar berdirinya perumusan tentang teologi islam. Pertama adalah tentang sejarah perjalanan Ibrahim mencari Tuhannya. Banyak sekali Tuhan-tuhan yang dianggap Ibrahim sebagai Allah. Perenungan panjang selalu menghiasi hari-hari Ibrahim sebelum akhirnya Ibrahim menemukan siapakah Allah yang sebenarnya itu. Dia bukanlah matahari, bintang, maupun bulan. Dia adalah satu-satunya Yang Ada dan mengadakan segala sesuatu yang ada: Allah.
          Dalam sekual ini, bisa dibilang filosof muslim pertama adalah Ibrahim. Penjelasan dalam Al-Quran memang sangat singkat jika dibandingkan dengan berapa lama pencarian Ibrahim. Dan ketika semua kisah Ibrahim diejawentahkan bisa jadi melebihi kisah Socrates dan murid-muridnya. Dalam ayatnya: al-An’am 76-78, dikutip beberapa anasir yang sebelumnya Ibrahim meyakininya sebagai Tuhan, tetapi tidak. Salah satunya adalah matahari (6.77), tidak mungkin jika hipotesis Ibrahim tentang matahari sebagai Tuhan itu tanpa alasan. Ibrahim pasti telah melewati pemikiran, pencarian, perenungan, dan penelitian secara intens sebelum menentukan kalau matahari adalah Tuhan. Begitu juga dengan bintang dan bulan. Semuanya mempunyai tahapan-tahapan yang dalam dan logis.
          Dalam bukunya HAMKA: Filsafat Ketuhanan, iman dalam arti yang sebenarnya bukan hanya meyakini, menerima, dan melakukan. Akan tetapi dominan pada aksi untuk mencari tahu secara dalam. Perjalanan akal adalah harga mati dalam dimensi ini. Akal harus dijalankan hingga menemukan titik pemberhentian. Dan di titik itulah iman akan benar-benar menjadi iman. Begitu pula dengan Ibrahim, Ibrahim baru menemukan titik pemberhentian itu selepas berinteraksi langsung dengan alam lewat dimensi pikirannya.
          Titik pemberhentian di sini dimaksudkan adalah keadaan dimana akal tidak lagi bisa menjangkaunya. Mengapa ombak berguling? Karena udara. Mengapa udara bergerak? Karena hawa panas. Dari mana datangnya panas? Karena matahari. Siapa yang meletakkan panas pada matahari? Tidak ada jawaban. Kira-kira itulah core dari pembahasan ini versi HAMKA.
          Di dalam salah satu sekuel keterangannya al-Ghozali dalam Ihya’nya, beliau menggambarkan bahwa keabstrakan Allah itu disebabkan oleh ketiadaan bandingan akan-Nya. Matahari dapat dikatakan sebagai matahari yang mempunyai cahaya yang luar biasa, dikarenakan adanya malam yang gelap. Sehingga akal manusia bisa menjangkau jika ini dinamakan cahaya matahari ketika sudah datang gelap. Dan ini disebut gelap jika sudah terbit matahari. Sederhananya, tidak akan ada putih jika hitam pun tiada. Tuhan tidak mempunyai bandingan. Jadi, sejauh-jauh akal manusia meraba tetap saja tidak bisa menjangkaunya. Dan keabstrakannya itulah merupakan wujud Allah yang nyata. Bisa jadi, perjalanan akal Ibrahim tidak jauh berbeda dengan konsep al-Ghozali tersebut. Sehingga berhenti pada matahari, Ibrahim menemukan halte pemikiran: Allah.
          Kedua adalah sejarah Muhammad. Konstruksi pencarian konsep ketuhanan Muhammad berbeda dimensi dengan Ibrahim. Jika Ibrahim berorientasi dengan pikiran sebagai seorang filsuf, Muhammad dengan will (kemauan). Dalam dimensi ini Tuhan tidak lagi intervensi dengan urusan-urusan Muhammad, tetapi terlibat langsung dengannya. Sehingga upaya Muhammad tidak lagi meyakinkan hati dan pikirannya sendiri akan Adanya Yang Ada, tetapi bagaimana memasak semua itu menjadi masakan yang pas dan sesuai dengan selera umat. Dimensi ini tiga kali lebih sulit dari dimensi sebelumnya. Apalagi objek sasarannya tergolong kaum-kaum yang sulit untuk mengakui sebuah kebenaran: kaum jahiliyah. Dan konsekuensi logis dari dimensi ini adalah pengakuan dari pihak lain bahwa yang membawa konsep ini adalah seorang pahlawan dan seorang pemimpin. Muhammad adalah pemimpin terhebat sepanjang masa, Michael Hart, penulis “100 Tokoh Paling Berpengaruh dalam Sejarah”.
          Dengan demikian, keislaman seseorang tanpa adanya pencarian terlebih dahulu akan keislamannya, masih dirasa sangat kurang. Perlu adanya islamisasi sejarah seseorang menjadi muslim. Semuanya perlu untuk dipertanyakan, sampai berhenti pada sebuah pemberhentian akal. Dan kira-kira itulah alasan kenapa Teologi Islam (ketauhidan) lahir menjadi sebuah disiplin keilmuan yang penting untuk diimplementasikan. Mengutip kesimpulan al-Kindy: ujung akhir dari ilmu pengetahuan adalah permulaan dari KEYAKINAN.zev.190913



Tidak ada komentar:

Posting Komentar