Rabu, 18 September 2013

Dari HAMKA sampai pada Ali Imran


          Sudah kesekian kalinya saya mendapat sesuatu yang benar-benar meyakikan saya: semua ini dari-Nya. Kemaren selepas saya dan teman-teman kelompok untuk materi ketauhidan diskusi, saya membawa mereka sejenak masuk dalam alam pikirku. Pikiran-pikiran nakalku sebagian aku ceritakan pada mereka. Komentar pun banyak yang datang. Dari pihak laki-laki tersirat dari wajahnya mereka mengangguk tanda sepakat dengan saya. Akan tetapi wajahnya masih kelihatan terbingungkan. Berbeda dengan pihak cowok, pihak cewek lebih mengedepankan keacuhan mereka. Mereka masih yakin seyakinm-yakinnya akan ego baiknya masing-masing.
          Adalah tentang menyegarkan sejarah keislaman kita. Mayoritas keislaman muslim Indonesia adalah turunan, kebanyakan dari mereka menganggap agama adalah sebatas keyakinan. Sehingga jika keyakinan itu disentuh sama artinya dengan tidak beragama. Anggapan yang sempit. Dalam bahasanya bapak Ulil Absor Abdalla: Islam itu bukanlah batu pahatan di abad 6 masehi, yang tidak boleh tersentuh oleh siapapun.
          Saya menyederhanakannya sebagai upaya untuk mengislamkan sejarah keislaman kita. Kita perlu tahu ada apa dibalik agama ini. Dan bukan hanya sekedar tahu, tetapi terlibat secara langsung dalam perjalanan pencarian keislaman kita.
          Dan dari bukunya bapak HAMKA, saya menemukan titik temu dialog saya dengan Dia. Seolah sebelum bapak HAMKA menuliskan bukunya tentang “Filsafat Ketuhanan”, beliau sudah tahu kalau akan ada hari ini. hari dimana ada seseorang yuang sangat mengharapkan jawaban atas yang selama ini diragukannya. Itu ada dalam bukunya beliau.
          Dengan sangat yakin beliau membedakan antara iman dengan taklid. Iman tidak cukup dengan adanya keyakinan dalam hati, tetapi harus ada perjalanan untuk melegitimasi keimanan tersebut, sehingga bertemu pada sebuah pemberhentian. Sejauh-jauh pikiran manusia berjalan pasti akan menemui titik pemberhentian. Dan itulah yang HAMKA sebut sebagai sesuatu Yang Ada. Ketika kita sudah terlibat dalam perjalanan itu,  baru kita bisa berkata: kita iman.
          Ketika iman tadi hanya berhenti dan vakum dalam hati, tiada perjalanan, tiada upaya untuk mengetahui lebih dalam, sudah pasti itu bukanlah iman, tetapi taklid. Saya masih belum iman dalam arti sebenarnya.
          Selepas sejenak belajar dari bapak HAMKA, keraguan saya semakin berkembang biak dalam benak. Ternyata ada banyak orang-orang di luar sana yang sama dengan saya.
          Namun, tidak lama paska momen itu, saya agak berfikir tentang salah satu ayat dalam surat Ali Imran ayat 78-81. Semua ayat itu paralel bak bocoran dalam soal ujian saya kali ini. Iya saya menemukan sesuatu yang menarik dari keempat ayat tersebut. Dan mungkin kalau pikiran nakal ini tidak menuntun saya, keempat ayat luar biasa itu hanyalah sebatas ayat yang mendapat pahala jika dibaca. Ini tidak demikian. Semua ajaran murni dalam agama-agama pra islam, kurang tepat jika dikata salah. Semuanya mengarah pada keesaan Tuhan. Tetapi kurang tepat juga jika sekarang semua ajaran itu dikata benar.zev.190913



Tidak ada komentar:

Posting Komentar