Selasa, 17 September 2013

Mbah Hasyim: pemimpin sekarang berbasis iklan bukan perjuangan


          Bisa dikatakan hari ini pengalaman saya 80% dari koran. Kuliah di kelas sangat membosankan. Bukan materi dan dosennya, tetapi cara pentransferannya itu yang sangat monoton. Sehingga kesimpulan saya: membaca buku sambil minum kopi di kontrak lebih banyak manfaatnya, baik di hati maupun pikiran.
          Saya tertarik sekali dengan opini yang ditulis salah satu penulis hebat Indonesia yang termuat di Jawa Pos hari ini. saya lupa siapa namanya. Yang pasti, saya bisa mengatakan yang bersangkutan adalah penulis berkaliber karena karyanya yang sukses termuat dan terbaca di koran terbaik Indonesia ini.
          Adalah tentang konsep baru pemilihan pemimpin di Indonesia. Sebagaimana yang saya tangkap, core dari semua itu bermuara pada konsep erasing old electing system. Dikatakan bahwa pemilihan guberbur, bupati, dan walikota tidak perlu direalisasikan melalui pemilihan umum serentak oleh semua rakyat yang bersangkutan. Isu itu muncul berbasis pada pengalaman. Pengalaman yang mayoritas memandang pilkada itu hanya wasting money. Dan solusi yang ditawarkan adalah intervensi presiden. Presiden berhak memilih siapa gubernur daerah ini atau daerah itu secara mutlak untuk memimpinnya. Begitu juga untuk bupati atau walikota. Mereka akan dipilih langsung oleh gubernur terpilih.
          Secara singkat, pikiran saya tidak sejalan dengan konsep miring itu. Pertama, saya mengamini pendapat penulis tadi: konsep ini masih tidak bisa menghilangkan money politic, yang ada itu bukanlah hilang, tetapi berpindah wilayah dan yang akan merasakannya hanyalah orang-orang atasan.
          Kedua adalah tentang utopia saya sedari dulu: saya selalu bermimpi Indonesia ini bersih dari kampanye. Tidak ada iklan sama sekali tentang para calon pemimpin di semua wilayah, mulai dari pemilihan RT sampai pada pemilihan presiden. Diharapkan semua rakyat tidak ada yang tahu siapakah calon pemimpin baru mereka. Calon pemimpin baru diketahui ketika sudah dalam ruang pencoblosan. Otomatis, dalam keadaan seperti itu, nalar manusia akan dominan pada sesosok yang sudah ia kenal, atau kepada hati nurani masing-masing. Dari ketidaktahuan, bisa jadi, akan mengulangi sejarah pemilihan paling demokratis sepanjang sejarah Indonesia: pemilu 1995.
          Sebenarnya tentang bagaimana caranya agar seseorang bisa menilai calon pemimpinnya, tidak harus melalui kampanye dan teman-temannya. Perjuangan masing-masing pemimpin perlu diprioritaskan dalam hal ini. Semua calon pemimpin tidak perlu untuk tahu di nomor berapakah nama mereka tercantum. Pembentukan panitia tertentu untuk menjaring para calon pemimpin harus juga dirahasiakan. Semisalnya calon pemimpin yang akan dipilih terbatas hanya tiga pasangan, panitia harus menyiapkan lima pasangan calon pemimpin. Dan diantara kelimanya tidak ada yang tahu pasti siapakah yang akan benar-benar menempati tiga kursi calon pemimpin yang sebenarnya. Dengan demikian, para pemimpin akan canggung untuk mengeluarkan uang banyak demi memantik suara rakyat. Di samping rakyat sendiri tidak tahu tentang dia, yang bersangkutan pasti juga berfikir dua kali untuk bertaruh dalam ketidakpastian. Money politic bisa terkurangi.
          Dalam bagan lain, untuk pemimpin yang terpilih, saya bisa menyebutnya sebagai hasil dari perjuangannya sendiri, sebagai anugerah, dan sebagai efek positif dari segala pengorbanan yang pernah dirasakannya silam.
          Selayang pikir, jika seseorang terpilih menjadi pemimpin dengan tanpa adanya pengeluaran yang banyak layaknya pengalaman-pengalaman sebelumnya, banyak kemungkinan yang bersangkutan akan enggan untuk memakai uang negara demi kepentingan pribadi. Pemakaian uang negara atas nama pribadi, korupsi, dan sejenisnya ada karena dampak timbal balik dari pengeluaran yang selama kampanye dihambur-hamburkan.

          Saya terinspirasi oleh mbah Hasyim Muzadi. Beliau dengan jelas mengatakan: pemimpin sekarang berbasis iklan bukan perjuangan. Sepanjang jalan saya memikirkan itu. Semuanya paralel dengan utopia saya yang lama terpendam.zev180913

Tidak ada komentar:

Posting Komentar