Minggu, 27 Oktober 2013

Pemimpin, Malaikat, dan Habermas


Masih segar dalam ingatan saya tentang kesimpulan spontan pembina KPMRT Jogjakarta, Bapak Marzuki, tentang konsepsi bahasa kepemimpinan yang dewasa ini semakin dipopulerkan. Tidak jarang ditemukan dalam beberapa seminar, acara organisasi, dan sebagainya, yang menggunakan kata leadership sebagai tema utama ataupun judul seminar. Tidak ada yang salah dalam hal ini, tetapi secara singkat, semua itu seakan terlalu mendewakan pemimpin. Dalam ranah pikiran juga, seakan, dari gejala seperti itu, muncul asumsi bahwa sekarang manusia semuanya ingin sekali menjadi pemimpin. Dan darinya, satu pertanyaan muncul: kalau semua ingin jadi pemimpin, siapa yang akan menjadi rakyat.
Paralel dengan itu, Mbak Hidayah, mahasiswa UGM program pascasarjana, mengajukan apologi atas asumsi Bapak Marzuki di atas. Kesimpulan baru yang Mbak Hidayah paparkan dalam rapat KPMRT kemaren ialah pemimpin di situ merupakan pemimpin yang bukan untuk sebuah formal pemerintahan, namun pemimpin pada diri sendiri. saya pribadi kurang sependapat dengan Mbak yang barusan saya kenal di acara KPMRT kemaren. Bagaimanapun juga, jika kepemimpinan sudah dijadikan suatu tema dalam pentransferan ilmu, pasti sudah terikat dengan formalitas keilmuan dan tendensi politik. Sederhananya, jika memang makna lain dari materi kepemimpinan adalah untuk memimpin diri sendiri, maka tidak seharusnya materi tentang kepemimpinan ini diseminarkan apalagi tertulis sebagai keyword utama. Sehingga dari penempatan kata kepemimpinan serta substansi yang diberi saat seminar, masih dalam kesepakatan awal: Masyarakat sekarang gila kepemimpinan.
Di wilayah lain sesuatu yang terkait dalam paragraf di atas adalah ayat Quran yang menyinggung mengenai penciptaan manusia sebagai kholifah. Sampai malam ini, saya masih memahami kholifah dalam ayat tersebut adalah sebagai pemimpin. Dan mayoritas pasti memahaminya juga sebagai pemimpin, minimal pemimpin untuk dirinya sendiri bukan sebagai pemimpin pemerintahan. Dalam hal ini semuanya bisa sepakat.
Namun, dalam sejarahnya, ketika Tuhan menerapkan konsep demokrasi kali pertamanya dengan malaikat, mereka malah mengecam kebijakan Tuhan tentang penciptaan Manusia sebagai kholifah. Dalam hal ini, yang masih menjadi pertanyaan saya adalah apakah yang sebenarnya dipermasalahkan malaikat itu, penciptaan manusianya atau terangkatnya manusia menjadi pemimpin? Toh meski manusia dijadikan sebagai pemimpin, wilayah yang dipimpin pun tidak sampai menjangkau wilayah malaikat. Kalau juga karena alasan keprihatinan malaikat akan rusaknya dunia, sejak kapan malaikat mempunyai rasa prihatin?. Dengan demikian kurang cocok jika dari penggalan sejarah tentang bentuk protes malaikat tersebut dipahami sebagai salah satu motivasi kepemimpinan. Seakan, itu lebih condong kepada bentuk konsepsi demokrasi Tuhan yang berada dalam wilayah kepemimpinan. Sederhananya, dengan sejarah di atas, bisa jadi, Tuhan menginginkan konsep demokrasi dalam sebuah kepemimpinan.
Masih dalam satu pembahasan, saya teringat pemikiran Habermas, saya menemukan suatu kesamaan tujuan di dalamnya. Itu adalah tentang pengkotakan tujuan: di satu wilayah, manusia menjadi pemimpin umum, di wilayah lain, sebatas pemimpin diri sendiri. Dalam teori kritis paradigma barunya, habermas mengubah konsep komunikasi yang mulanya berbasis pada penaklukan menjadi komunikasi yang berbasis rasio. Sebelum ada revisi dari Habermas, teori kritis yang berada dalam naungan Frankfrut—teori kritis lama—yang masih dimotori oleh Merx Horkheimer dan Theodor Adorno konsep tentang komunikasi manusia itu berbasis pada konsep penaklukan. Kemudian kunci kendali Frankfrut diambil oleh Habermas dan teori intinya diubah menjadi teori kritis paradigma baru.  Di dalamnya Habermas menjelaskan bahwa salah satu yang menjadi karakter dasar manusia adalah berkomunikasi atau berinteraksi dengan sesama secara rasional. Dampak gerakan konsep ini bukan berkutat kepada dirinya sendiri, tetapi kepada orang-orang di sekelilingnya. Dengan demikian, mengaca dari paragraf ini, manusia memang terlahir untuk menjadi pemimpin umum, semuanya berhak menjadi presiden, dan semuanya berhak untuk tidak menjadi seseorang yang dipimpin. Berbasis pendapat ini dan keluar dari paragraf sebelumnya: takwil ayat tentang kepemimpinan manusia bisa diartikan sebagai kepemimpinan formal.
Pengkotakan Habermas yang lainnya adalah sifat dasar manusia untuk bekerja. Di wilayah ini, manusia lebih mengedepankan egonya. Dan di bagian inilah manusia mempunyai tuntutan untuk memenuhi dirinya sendiri, memikirkan kehidupannya, sendiri, dan bekerja untuk dirinya sendiri. Jika dihubungkan dengan takwil ayat di atas, kata kholifah lebih cocok dipahami sebagai pemimpin yang hanya memimpin dirinya sendiri.
Dan dari pengkotakan Habermas tentang manusia tersebut, kholifah di situ berpotensi majemuk: bisa sebagai pemimpin diri sendiri, pemimpin umum atau pemimpin di situ hanya sebagai tendensi perlunya konsep demokrasi dalam setiap organ kepemimpinan. Semuanya masih abstrak, tergantung masing-masing individu mau dibawa kemanakah makna pemimpin itu. Dan tampaknya, respon Tuhan kepada protes malaikat tersebut secara blur adalah sesuatu yang benar-benar sesuatu. Sesuatu yang pasti menjadi sesuatu jika manusia sudah mengundang hikmah at-tasyri’ di dalamnya.zev271013


Tidak ada komentar:

Posting Komentar