Jumat, 22 November 2013

Canberra dan Jakarta


Baru beberapa menit ini, secara tidak sengaja, saya mendengar perbincangan yang cukup seru dan terkesan saling mendahulukan kepentingan pribadi masing-masing di salah satu saluran televisi populer. Di dalamnya tersiarkan, antara narasumber dari FPI, moderator—yang sekaligus pembawa beritanya—dan satu lagi seorang pengamat politik, entah siapa, saya lupa namanya. Permasalahan yang dibahas di dalamnya adalah tentang retaknya hubungan diplomatis antara Australia dengan Indonesia. Dan dari perbincangan singkat itu, terlihat, pembawa berita sedikit tidak sepakat dengan solusi yang dikoar-koarkan dari pihak FPI yang tadi dikatakan adalah sebagai perwakilan dari rakyat Indonesia. Dalam hal ini, FPI hanya memberi satu solusi, yaitu pemutusan hubungan dengan Australia dalam hal apapun. Dan jika besok ada kebijakan-kebijakan diplomatis dari pihak Australia, perlu diklarifikasi dengan cermat mengenai tulus-tidaknya kebijakan itu. Indonesia harus tegas dalam hal ini.
Menyikapi masalah itu, saya lebih suka akan reaksi geram pembawa berita kepada narasumber dari FPI barusan. Tindakan itu setidaknya menyiratkan ketidaksepakatannya dengan solusi dari FPI yang terlalu normatif. Alangkah lebih baiknya, jika dalam masalah ini mereka bisa menanggapinya dengan spekulasi yang berbeda tentang Australia.
Dalam pengamatan saya, dari berbagai pakar yang banyak berbicara di media-media masa, mereka memandang permasalahan ini dengan hati yang menyimpan rasa dendam kepada Australia sehingga pemikiran yang dihasilkan pun bernuansa geram. Dan hal itu menyebabkan lahirnya solusi-solusi yang geram pula. Bagi saya, sesuatu yang geram itu bukanlah solusi, tetapi justru masalah baru.
Upaya pertama yang lebih baiknya diberi penekanan adalah mengenai bentuk konkrit kerugian negara dari kejadian ini. Jika bentuk kerugian negara hanya sebatas hilangnya harga diri, sepertinya kurang tepat jika kita membalas mereka dengan tindakan fisik seperti pemberhentian hubungan diplomatis secara total. Kemudian, jika bentuk kerugiannya berupa nominal, perlu kiranya kita bandingkan dengan kerugian nasional akibat ulah kreatif para tikus bangsa, dan jika ternyata tidak lebih banyak darinya, maka kurang bijaksana juga kalau penutupan jembatan pendidikan, bisnis, dan lain sebagainya harus dilanjutkan. Dengan demikian, perlu adanya sesuatu yang lebih dingin untuk menghadapi permasalahan yang jarang terjadi ini.
Itu adalah tentang keberanian kita untuk memandang bentuk permasalahan ini dengan kedua mata. Dalam hal ini permasalahannya adalah penyadapan. Penyadapan bukanlah serangan fisik yang langsung melukai semua rakyat. Akan tetapi itu bersifat sangat rahasia dan bahkan tidak terlihat, abstrak. Selain itu, korbannya pun hanyalah beberapa oknum yang dipandang sangat berpengaruh di Nusantara ini. Sehingga, darinya, seolah Indonesia ini hanyalah milik beberapa orang, dan ketika beberapa orang tadi sedikit saja dilukai, semua rakyat harus mengatakan bahwa yang dilukai adalah negara, tetapi nyatanya tidak.
Jadi, alangkah lebih bijaksananya, jika untuk menghadapi masalah yang terpantik dari sesuatu yang abstrak ini, kita juga menggunakan sesuatu yang abstrak pula. Bagaimana caranya? Dalam pandangan saya, kita tidak perlu memutus hubungan apapun dengan mereka. kita mengalir saja, seolah tidak ada masalah yang serius. Akan tetapi bukan berarti kita diam saja, kita perlu menengok kepada taktik ngambek ala pemuda-pemudi tanah air dewasa ini. Ketika semua dipandang baik-baik saja, kita mulai menjalankan taktik tersebut dengan memilih cuek terhadap apapun yang mereka suarakan, baik itu masalah politik, permintaan bantuan, ekspor, impor, militer, dan sebagainya. Konkritnya, ketika dari pihak sana meminta ekspor apapun yang mereka sangat membutuhkannya atau tentang bantuan militer, Indonesia hanya perlu menumpuk surat diplomasi tersebut tanpa perlu membukannya, begitu juga lainnya. Sehingga, dengan tanpa dipandang kaku, kita sudah perlahan bisa membalas aksi abstrak mereka.

Pada akhirnya, dengan tindakan bawah tanah itu, boleh jadi hubungan diplomasi kedua negara akan tampak dan dipandang baik-baik saja, tidak ada masalah. Akan tetapi, dibalik itu, kita bisa memberi mereka sebuah kekecewaan yang lebih dalam dari apa yang sekarang presiden rasakan. Dalam tanda kutip, semua itu harus dibarengi dengan profesionalitas yang konsisten dari segenap masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar