Senin, 10 Februari 2014

Ikhlas Tanda Impas


Boleh jadi, salah satu alasan munculnya isu tentang pendekatan dengan Tuhan tanpa agama atau yang lebih familier disebut god without religion adalah pupusnya rasa ikhlas dalam setiap hati orang-orang yang beragama. Sebab, dengan keadaan seperti itu—tanpa adanya ketulusan—seseorang akan menganggap ritual-ritual yang merupakan bagian dari kewajiban mereka itu hanyalah sebagai alat penggugur kewajiban. kemudian, bersama asumsi tersebut, pihak yang diuntungkan bukanlah mereka tapi agama mereka. Dan ketika yang diuntungkan agamanya bukan pemeluknya, maka tidaklah salah jika dikata: agama hanyalah peruwet dari kehidupan. Hal itu disebabkan oleh absennya timbal balik yang didapat pemeluknya paska menyempurnakan ritual-ritual keagamaannya. Sehingga, bagaimanapun juga salah satu hal vital dalam beragama dan untuk mengagamakan agama adalah dengan men-set hati setulus mungkin dalam setiap ritual yang terjalani.
Dipercaya atau tidak, segala sesuatu yang dijalankan secara ikhlas pasti akan mengundang manfaat tersendiri dalam benak masing-masing pelakunya. Hal itu juga tidak berhenti sampai kepada ritual-ritual dalam beragama. Sholat misalnya, jika hal itu dijalankan secara ikhlas pasti manfaat yang didapat tidak sebatas kepada agamanya saja, namun juga kepada pihak yang bersangkutan (7:29). Minimal, dengannya seseorang pasti akan mendapat kepuasan rohani yang tidak akan didapat ketika semua itu dijalankan dengan terpaksa. Dengan demikian, dalam hal ini agama bukan lagi sebagai peruwet kehidupan, tetapi sebaliknya: agama sebagai sesuatu yang bisa mencerahkan, bisa memberi, dan bisa diandalkan.
Di lain wilayah, jika hal di atas dikaitkan dengan pragmatisme, sebenarnya semuanya masihlah baik-baik saja. Justru, kalau memang mereka benar-benar pragmatis, tidak ada alasan yang lebih masuk akal bagi mereka untuk meninggalkan ritual-ritual keberagamaan mereka. Sebab, sebegaimana tertulis sebelumnya: semua pasti akan terbalas impas jika dijalani dengan ikhlas. Contoh lainnya adalah konsep pengabdian yang sudah lama berkembang dalam Islam. Lebih khususnya, hal itu berkembang di pesantren yang hampir semuanya ditata dengan konsep pengabdian. Di dalamnya, ketika memang pengabdian ini dijalankan dengan ikhlas, pasti ada manfaat yang luar biasa yang akan didapat. Itu tidak berbeda jauh dengan teori karma atau timbal balik: barang siapa membantu pasti dibantu. Begitu juga dengan pengabdian yang posisinya adalah membantu secara total instansi yang menaungi mereka. Minimal—meski dirasa sulit juga untuk mempercayai hal-hal yang nyata tapi masih belum berupa manfaat materi yang jelas—hanya dengan itulah mereka bisa berbangga diri dan puas batin karena mereka telah berhasil untuk menjadi sosok-sosok yang bermanfaat bagi orang lain. Khoiru an-nas man anfa’uhu li an-nas. Zev100214



Tidak ada komentar:

Posting Komentar