Minggu, 16 Februari 2014

Metafisis, mengapa tidak bisa dinalar?


Dalam kajian Linguistik, ada tiga unsur yang paling penting: langue, langage, dan parole.  Ketiganya berfungsi menurut masing-masing tempatnya. Yang pertama merupakan tempat untuk mengetahui kalau sebuah bahasa pasti tersistem atau mudahnya, setiap bahasa itu memiliki grammatika masing-masing yang pastinya berbeda satu dengan lainnya. Yang kedua adalah tempat untuk membedakan antara bahasa manusia—sebagai makhluk yang  tersistem dengan pemikiran yang ilmiahnya—dengan bahasa hewan—sebagai makhluk hidup tanpa pemikiran tersistem—yang pastinya hanya bahasa manusia lah yang masuk dalam kajian ilmu linguistik ini. Selanjutnya adalah parole: keadaan yang menempatkan bahasa menurut fungsi utamanya, yaitu sebagai alat komunikasi dengan baik dan teratur.
Masih berkenaan dengan itu, hewan yang posisinya juga sebagai makhluk hidup pasti memiliki bahasa sendiri-sendiri untuk berinteraksi satu sama lain. Meskipun hal itu tidak bisa dijangkau oleh kemampuan manusia biasa, tetap saja mereka memiliki konstruksi bahasa mereka sendiri. Dalam hal kesetiaan merpati misalnya, pasti sebelum merpati cowok dilepas meninggalkan yang cewek lalu kembali pada dekapan si cewek, ada komunikasi-komunikasi tertentu yang terjadi di antara keduanya. Selain itu, dalam kehidupan makhluk-makhluk lain seperti jin dan teman-temannya. Bagaimanapun juga karena mereka juga eksis dalam kehidupan mereka sendiri, mereka pasti memiliki bahasa yang berfungsi sebagai alat untuk mengekspresikan pikiran mereka masing-masing. Pastinya, itu juga sudah tersistem menurut system yang ada dalam kehidupan mereka. Kemudian—dari hewan dan jin di atas—persoalannya adalah ketika bahasa tersebut dibenturkan dengan struktur dalam paragraph pertama tadi: apakah masih bagiannya darinya atau tidak, toh mereka juga berkomunikasi. Dan jawaban yang paling mendekati tentang itu adalah adanya perbedaan dimensi. Keduanya—hewan dan jin—tidak masuk pada tataran apapun yang bisa dinalar. Dengan demikian, bagaimanapun juga meski mereka memiliki bahasa yang rapi, itu masuk dalam nalar di dunia mereka sendiri, tidak dunia kita.

Di wilayah lain, masih bersinggunggan dengan itu, dalam surat al-A’raf:52, dengan jelas tertulis bahwa Quran itu dijelaskan atas dasar pengetahuan yang ilmiah. Dan jika ditarik beberapa surat sebelumnya, tepatnya al-Baqarah: 3, tertera bahwa orang-orang yang takwa adalah siapa saja yang percaya kepada hal-hal gaib, mau bersembahyang, dan berinfak. Di sini, satu hal yang unik: kalimat tentang percaya terhadap hal-hal ghaib diletakkan lebih awal sendiri dari pada lainnya. Selain itu, kalimat tersebut juga berada di posisi awal dalam surat kedua dari Quran. Al-Quran—seperti dikatakan sebelumnya—adalah sesuatu yang berdasarkan pengetahuan ilmiah dan di dalam Quran dijelaskan bahwa mempercayai hal ghaib—termasuk di dalamnya jin dan lainnya—merupakan salah satu syarat terpenting untuk bisa meraih derajat takwa. Dengan demikian, jika ditarik kesimpulan dari kedua premis di atas, maka hasilnya: jin itu juga ilmiah. Dalam arti, hal itu bisa dinalar, tetapi mungkin permasalahannya tergantung kepada bagaimana kita menalar jin tersebut. Dan dalam hal ini termasuk juga mengenai ilmu linguistic yang tadi dikata hanya berlaku untuk manusia dengan alasan ilmiah. Jin—dari uraian singkat di atas—dalam menurut Quran adalah sesuatu yang ilmiah, jadi dalam konteks langage, sepertinya tidak ada salahnya jika bahasa keseharian mereka dimasukkan dalam tataran linguistic.zev160214

Tidak ada komentar:

Posting Komentar