Kamis, 10 Oktober 2013

Antara Pluralitas Keagamaan, Islam Historis, dan Islam Normatif


Salah satu sebab terkonsepnya pendekatan historis-kritis adalah pluralnya agama dalam suatu daerah. Ketika dikatakan sebuah daerah hanya memiliki agama tunggal, islam misalnya, sedikit kemungkinan akan ditemukan perbedaan-perbedaan yang mendasar di dalamnya. Kebudayaan daerah setempat dengan nilai-nilai keagamaan masyarakat sudah menjumpai titik temu. Sehingga konflik perbedaan tidak terlalu banyak. Tetapi sebaliknya, jika dalam sebuah daerah dijumpai lebih dari satu agama, toleransi menjadi harga mati. Dan disinilah Islam Historis menjadi pahlawan tersendiri bagi masyarakat yang terlibat langsung dengan pluralitas keagamaan suatu wilayah.
Dalam satu bagan, toleransi muncul karena adanya alasan yang tepat mengenai: kenapa saya harus peduli dan menghargai. Dan jalan yang paling mudah untuk mendapatkan alasan itu adalah melalui kepercayaannya masing-masing.[1] Jika suatu agama diinterpretasikan untuk menggagalkan suatu ritual keagamaan lainnya dengan alasan tidak sesuai dengan ajaran agamanya, maka jelas sudah, toleransi tidak akan pernah ada. Tetapi sebaliknya, semua lapisan masyarakat akan berjalan bersama-sama ketika masing-masing dari kepercayaanya diintrepretasikan untuk turut berbaur dengan ritual keagamaan mereka. dengan catatan: hanya sebagai ekspresi penghargaan kepada si empunya ritual keagamaan, tanpa turut membaurkan kepercayaan masing-masing.
Berbicara tentang pluralitas agama, pengalaman pluralitas agama di setiap wilayah berbeda-beda. Semisal Amerika, pengalaman pluralitasnya tidak sama dengan yang ada di Indonesia. Di samping agama mayoritasnya berbeda, basis akannya pun berbeda. Amerika menghayatinya dengan keasadaran budaya yang sekular. Sehingga, pengalaman pluralitas agama yang dialami setiap warganya pasti tidak sama. Sedangkan Indonesia menghayatinya dengan kesadaran budaya yang religius. Di titik inilah Islam historis kritis sangat diperlukan: untuk menyikapi budaya yang telah menyatu dengan masyarakat setempat.  
Di lain keadaan, dominasi agama tertentu di wilayah yang memiliki pluralitas agama, mempunyai pengaruh yang besar dalam pendekatan Islam Historis. Di Timur Tengah tempat agama hindhu dan budhanya relatif tidak berkembang, ekspresi Islam Historis pasti berbeda dengan ekspresi Islam Historis di India, Thailand, dsb. Islam di Thailad dan India berada di garis minor. Sehingga dengan perbedaan itu, Islam historisnya muslim Timur Tengah dan Thailand tidak sama. Islam historis boleh tidak sejalan, namun berada dalam satu normatif masihlah menjadi sebuah keperluan dan kesatuan.
Dan diantara semua wilayah tadi, Indonesia dirasa yang paling sesuai dengan pendekatan Islam Historis. Masyarakat Indonesia meski belum dilandasi dengan studi agama yang akademik kritis sudah mencerminkan kerukunan antar umat beragama yang istimewa. Dan tidak bisa dipungkiri, potret inilah yang berhasil menarik peminat peneliti-peneliti luar untuk menjadikan Indonesia sebagai objek penelitian.[2] Dengan demikian, sungguh tidak melebihkan jika dikata: pendekatan Islam Historis akan sangat sesuai untuk dipraktikan di Indonesia. Antara sosial, budaya, dan agama bisa berjalan beriringan di bumi nusantara ini sebagai wujud integrasi atas pluralitas agama, normatifitas, dan historisitas.





[1] Zagorin, Perez (2003). How the Idea of Religious Toleration Came to the West. Princeton University Press. ISBN 0691092702.
[2] Abdullah, M. Amin, Studi Agama Normatifitas atau Historisitas?. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar