Senin, 11 November 2013

Pesantren, Terbelakang atau Terdepan



5 jam perjalanan yang melelahkan dari stasiun Lempuyangan Jogjakarta hingga stasiun Gubeng Surabaya seakan tidak bisa memupuskan rasa bahagia saya bertemu dengan teman-teman saya di pondok Mambaus Sholihin. Saya merasa begitu berharga di mata mereka. Sofyan, teman yang sudah lama menemani saya ketika di pesantren, memanggil semua teman yang available untuk sejenak melihat bagaimana saya saat ini. Saya juga dipaksa dengan hormat untuk mengisi sesuatu di kelas lama saya, TH Inkafa. Keadaan yang sangat tidak sesuai dengan janji saya silam saat dengan dera saya berhadapan dengan kebijakan-kebijakan pesantren yang saya tidak tahu apakah itu terbelakang atau terdepan.
Dan di waktu yang sama, saya terjebak razia alat-alat elektronik yang digalakkan dari pihak eksternal kampus. Potret yang bagi mereka sangat cerah itu kembali membuat saya memutar pola pikir saya 4 bulan silam. Di tengah-tengah kebahagiaan saya bisa melepas rindu dengan nama-nama yang sampai sekarang saya kagumi, razia oleh pihak pesantren itu menghentikannya dengan alasan yang bagi mereka adalah sebuah keharusan. Dengan berpesantren saya harus mengorbankan kebahagiaan saya berkumpul, berbaur, dan berpositif dengan teman-teman lama saya. Sehingga di akhir momen ketika saya harus meninggalkan kelas secara tiba-tiba, terbesit dalam benak saya: apakah dengan menjadi santri saya harus mengorbankan semua yang bisa membahagiakan. Entahlah.
Dari, kejadian itu, saya kembali berpikir tentang pesantren ini. Pesantren yang diidamkan menurut beberapa peneliti mancanegara yang tertulis jelas dalam bukunya Kuntowijoyo, Paradigma Islam, dan menurut Bapak Marzuki salah satu tokoh penting pergerakan kaum pesantren di Jogjakarta adalah pesantren yang yang masih benar-benar pesantren. Pesantren dimaksud adalah pesantren salaf. Hal itu bermaksud mengeluarkan kata-kata institut, sekolah tinggi, universitas, sekolah formal dan lainnya. Dengan demikian, menurut paragraf ini pesantren Mambaus Sholihin tidak termasuk di dalamnya, Mambaus Sholihin tidak termasuk dalam daftar pesantren idaman masyarakat Internasional yang sangat diharapkan geraknya dalam mengatasi permasalahan zaman.
Kembali pada konteks pertama, bagi saya tidak masalah Mambaus Sholihin begitu adanya, tidak masalah jika Mambaus Sholihin me-mix semua kelebihan pesantren lainnya menjadi satu tatanan tersempurna MBS, tidak masalah salaf dan modern berbaur menjadi satu di dalam naungannya, tetapi satu hal yang perlu diperhatikan, yaitu konsekuensi. Efek paling logis jika seseorang menggunakan LPG adalah ledakan yang mematikan jika terjadi sedikit kesalahan saja, begitu juga dengan pengadaan Institut di Mambaus Sholihin. Jika itu sudah  berani didirikan, maka konsekuensi paling ringannya adalah diperbolehkannya alat-alat yang mendukung kehidupan kampus di dalamnya. Akan tetapi, saya tidak menemukan bentuk konsekuensi itu. Sehingga, saya membahasakan mereka itu tidak bertanggung jawab, mereka mencuri madu dari lebah yang tidak ingin madunya dicuri. Semua itu akan terlihat ideal jika di dalam kampus yang sudah mereka dirikan sendiri itu ada sedikit kebebasan untuk mengenal lebih dalam tentang teknologi, mengenal kemajuan pemikiran tokoh terkini, mengenal bagaimana kehidupan kampus yang ideal, dan satu lagi: tidak ada razia.
Dalam konteks minimum, minimal ada pembedaan wilayah dalam pesantren. Antara dunia salaf yang dianut pesantren dengan dunia kampus yang digalakkan pesantren harus ada dinding pembeda. Larangan untuk tidak terlibat sama sekali dengan tekonolgi harus ditempatkan sesuai dengan tempatnya, yaitu wilayah pesantren. Sedangkan untuk wilayah kampus larangan itu tidak seharusnya ada. saya masih ingat dengan jelas bagaimana saya dulu diajari tentang adil dari berbagai literatur klasik oleh guru-guru yang tidak diragukan lagi keilmuannya, tetapi mengapa dalam implementasinya semua itu seakan diam? Bukannya salah satu poin penting dari semua ceramah yang disampaikan setiap minggu tidak pernah keluar dari permasalahan ilmu yang bermanfaat? Entahlah, pastinya pihak-pihak yang bersangkutan lebih mengerti tentang bagaimana menempatkan sesuatu pada tempatnya dan bagaimana harus menerima konsekuensi dari setiap gerakannya.
Bersinambung dengan itu, masih segar dalam ingatan saya tentang apa yang pernah disimpulkan Bapak Grunebeum: apakah dengan menjadi islam kita harus mengorbankan kebahagiaan dengan sesama yang sudah lama ada. Dan saya kira kejadian kemarin itu sangat sesuai dengan kesimpulan tersebut. Dari potret itu, islam melalui pesantren ini tampak kejam dengan berbagai kebijaksanaannya. Kebijaksanaan yang bagi Grunebeum malah akan menghilangakn status islam sebagai agama dan menghilangkan status Mambaus Sholihin sebagai pesantren.
Pesantren lahir tidak lain adalah untuk menjawab kegelisahan masyarakat umum yang sudah menggejala. Hal itu membutuhkan kader-kader yang pastinya harus paham betul tentang gejala dalam masyarakat bahkan harus terlibat. Dengan demikian, alangkah lebih baiknya jika pesantren lebih fokus kepada hal tersebut, bukan kepada semua kebijakan internalnya. Toh apakah dengan keadaan yang bagi saya terlalu itu akan membawa kepada penyelesaian masalah-masalah kemasyarakatan? Saya kira tidak, karena objek utama kita adalah masyarakat umum bukan masyarakat pesantren. Saya ulangi sekali lagi: masyarakat umum bukan masyarakat pesantren. Mambaus Sholihin harus dijadikan pesantren yang pesantren. Zev311013



Tidak ada komentar:

Posting Komentar