Sabtu, 19 Oktober 2013

Tautan Sufisme dan Moral

1

Tasauf dengan akhlak, jika meminjam istilahnya Bapak Amin Abdullah (Studi Agama, Normatifitas atau Historisitas, 1996, 4), keduanya bagaikan dua sisi pada koin yang sama. Di antara keduanya memiliki keterikatan yang kuat. Satu pendapat menyimpulkan tasauf yang terikat kepada akhlak,[1] satu lainnya menyimpulkan akhlaklah yang terikat kepada tasauf.[2] Oleh karenanya membaca dua kesimpulan tersebut, antara tasauf dan akhlak memiliki keterkaitan yang bersifat saling melengkapi, bukan mendahului.
Menurut pendapat yang pertama, meskipun keduanya memiliki orientasi yang sama: fokus pada masalah hati dan jiwa, tetap saja ada beberapa bagian yang  berbeda, yaitu tentang objek wilayahnya. Tasauf, objek utamanya fokus kepada wilayah transedental, ketuhanan Yang Maha Esa, dan kesucian hati dan jiwa kepada Tuhan. Di wilayah ini, seakan semua yang ada di dunia sangat tidak berarti. Pengikut-pengikut yang fanatik akannya populer dengan sebutan sufi atau sederhananya adalah orang-orang yang zuhud; dalam arti yang umum. Selanjutnya yang kedua, yaitu akhlak. Di bagian ini objek utama akhlak adalah wilayah horisontal: hubungan dengan manusia. Bagaimana cara berinteraksi yang baik dengan sesama itulah yang menjadi titik tekannya. Dengan demikian, meskipun menurut pendapat yang pertama—keduanya fokus kepada kemurnian jiwa dan hati dalam berinterkasi—akan tetapi titik tekannya masih berbeda. Dan di antara keduanya, akhlaklah yang menjadi tolok ukur kadar ketasaufan seseorang. Seseorang dinilai bersih hati dan jiwanya ketika akhlak mereka sudah baik dengan masyarakat yang berada disekelilingnya. Kunci utamanya jatuh pada bagaimana kita bisa berhubungan dengan sesama secara baik dan apa adanya.
Sedangkan, menurut pendapat yang kedua. Titik keterikatan tasauf dengan akhlak terletak pada wilayah aksiologisnya: hasil nyata. Mudahnya, akhlak adalah konsekuensi logis dari tasauf seseorang. Jika seseorang sudah gagal dalam mensucikan jiwa dan hatinya kepada Tuhan, maka hasil yang ada ialah akhlak al-madzmumah, dan seperti itu juga sebaliknya. Oleh karenanya, akhlak yang statusnya sebagai hasil nyata dari tasauf sangat tergantung kepada eksistensi tasauf dalam diri seseorang.
Masih dalam satu ruang, jika kita tarik permasalahan di atas ke dalam ranah keimanan, maka iman saja tidak cukup. Ilmu dan amal merupakan harga mati yang harus terlibat dalam proses keimanan seseorang. Iman bukan sekedar ucapan atau pernyataan, tetapi juga pemahaman tentang mengapa seseorang harus beriman (epistemologis)[3]. Kemudian ketika keduanya sudah dimiliki, barulah difikirkan tentang amal (aksiologis): apa manfaat dari semua ini. Sehingga ketika ketiga entitas di atas sudah dimiliki, maka utuhlah makna iman tersebut.
Seperti halnya itu, tasauf juga perlu dikaji dengan konsep pengetahuan dan implementasi. Tasauf saja tanpa pelu adanya kajian epistemologis dan aksiologis dapat menimbulkan intepretasi yang tidak utuh. Dan bentuk nyata dari adanya kajian aksiologis ini tak lain adalah adanya akhlak.
Paralel dengan itu, melalui pendekatan sejarah, sebagaimana yang telah tercantum di beberapa kitab klasiknya para ilmuan Timur Tengah pada abad XI Masehi,[4] salah satu pembahasan yang terpenting dalam kajian tasauf adalah akhlak.[5] Dan bermula di masa inilah tasauf mendunia. Di waktu yang sama pula, tasauf berkembang secara masif. Dan sebagai konsekuensinya, tasauf berbenturan dengan disiplin keilmuan lainnya. Merespon itu, bagaimanapun juga jika tasauf masih ingin diakui eksistensinya oleh dunia, maka tasauf harus menyapa disiplin keilmuan yang lain. Oleh karenanya, seiring dengan berkembangnya zaman, konektifitas tasauf tidak hanya kepada akhlak, tetapi sudah kepada banyak disiplin keilmuan lainnya: sosial, ekonomi, politik, dsb.
Dengan demikian dapat ditarik benang merah bahwasanya tasauf dengan akhlak saling bertaut. Pun, tautan itu tidak berhenti kepada akhlak itu sendiri. Seiring berjalannya waktu tasauf bertaut dengan banyak disiplin keilmuan. Dan kebanyakan, tautan tersebut bukan bersifat saling mendahului, akan tetapi saling melengkapi.




[1] Prof.Dr.H.Abuddin Nata, MA, 2006. Akhlak Tasawwuf . Jakarta. PT RajaGrafindo Persada.
[2] FATAWA QARDHAWI, “Permasalahan, Pemecahan dan Hikmah”, Surabaya: Risalah Gusti.
[3] Ahmad tafsir, 1981,Pengantar Filsafat, Pustaka Martiana.
[4] Christian D. Von Dehsen (1999). Philosophers and Religious Leaders: Volume 2 dari Lives and Legacies.   Greenwood Publishing Group. hlm. 75.
[5] FATAWA QARDHAWI, “Permasalahan, Pemecahan dan Hikmah”, Surabaya: Risalah Gusti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar