Rabu, 09 Oktober 2013

Bangjo, Tiyang Jogja, dan Teks

          Sedari kemaren, di setiap pagi saya, rambu-rambu lalu lintas selalu menjadi tetenger untuk kembali. Rute olahraga pagi, dari kontrak ke rambu-rambu, sudah lebih dari cukup untuk sekedar melemaskan tubuh dan menghangatkan tubuh di pagi Jogjakarta yang sejuk. Lampu lalu lintas itu bermakna penting bagi saya.
          Di lain pagi, tidak sengaja dalam ranah pikir saya terbesit tanya: bangjo ini kala siang sangat disegani dan dibuat sakral oleh kebanyakan pemakai jalan, tetapi kenapa pada dini harinya malah hanya menjadi pajangan tak berarti. Saya kurang tahu, dalam ranah hukum lalu lintas Indonesia, apakah ini termasuk pelanggaran atau tidak. Yang pasti, jika dalam keadaan lampu merah menyala, tetapi pemakai jalan masih berjalan, itu adalah pelanggaran. Setiap pelanggaran pasti ada konsekuensi. Kenyataannya, mereka, semua pemakain jalan di dini hari, tidak mendapatkan hukuman apapun. Ini adalah kota yang bagi saya bermasyarakat luhur, etika sangat diistimewakan di sini, akan tetapi tetap saja, hukuman bagi pelanggaran lalu lintas di setiap pagi Jogja tidak ada tindakan tegas.
Dalam hal ini tidak ada yang perlu disalahkan atau menyalahkan. Karena memang tidak ada yang salah. Tujuan pertama didirikannya lalin adalah meminimalis kemacetan, kecelakaan, dan keribetan dalam berkendara. Di dini hari, pemakai jalan  bisa dikata sangat minim, sehingga tanpa adanya lalu lintas pun kemungkinan terjadinya kecelakaan atau kemacetan sangatlah sedikit bahkan tidak ada. Main core dari adanya lalin tak bukan adalah untuk menghindari kemacetan dan kecelakaan. Dengan demikian, ketika inti dari sebuah tujuan sudah tercapai, cukup sudah, hukum lalin hanya sekedar hukum, untuk mematuhinya pun saru jika diwajibkan. Tidak ada masalah ketika tidak ada hukuman dari polisi untuk yang bersangkutan.
          Ini tidak berbeda jauh dengan hukum islam. Berangkat dari analogi di atas, akan lebih indah jika Islam dijalankan seperti itu. Penekanan yang baik seharusnya pada inti tujuan ajarannya bukan metode atau peraturan-peraturannya yang selalu mengikat. Sehingga, ketika kita sembahyang, yang perlu kita prioritaskan adalah bagaimana kita bisa tenang dan nyaman di dalamnya, tidak pada pakaian apa yang layak kita pakai. Begitu juga memelihara anjing. Ketika dalam memelihara anjing kita bisa menjaga dari jilatan dan gigitannya, tidaklah masalah. Alasan pertama tidak dianjurkannya memelihara anjing adalah agar kita bersih dari sumber najis itu. Dan jika kita sudah bisa menjaga dari semua alasan itu, apa yang perlu dipermasalahkan. Saya kira itu.
Hal tersebut sama dengan konsep Islam Historis. Hanya dengan pendekatan inilah islam bisa benar-benar rahmatan lil alamin. Meminjam istilahnya Bapak Amin Abdullah, eks rektor UIN SUKA: Islam hanyalah sebatas ajaran abad enam masehi yang hanya untuk kehidupan saat itu jika tidak dibarengi dengan pendekatan secara historis. Menilai islam tidak harus kaku dan sesuai dengan peraturan-peraturan yang klasik. Pembaruan peraturan perlu diadakan dengan tetap pada koridor teks islam: Quran dan Sunnah.
Dalam wilayah lain, di penghujung hari ini, perhatian saya tersita dengan salah satu perempatan jalan menuju mato. Perempatan itu tidak berambu. Tetapi pemakai jalan sore tadi sangat ramai, melebihi kapasitas keramaian yang biasanya terlihat pada bangjo lainnya di Jogjakarta. Melihat fenomena ini, hipotesis saya menyimpulkan—rambu-rambu lalu lintas, terpakai atau tidak, masihlah sangat perlu—dan inilah potret nyatanya. Semua pemakai jalan terbingungkan akan keadaan itu. Kemacetan luar biasa pecah di sepanjang jalan mataram. Tidak akan ada titik temu selama belum ada intervensi dari beberapa oknum yang mau mengaturnya. Hukum islam, peraturan-peraturannya, dan sebagainya, bagaimanapun juga masih sangat diperlukan. Pendekatan normatif, sepertinya harga mati dalam hal ini.

Di lain bidang, fenomena tadi sore, bisa jadi adalah salah satu titik lemah sebuah kebaikan. Kebaikan di sini adalah tata santun. Tidak selamanya kesantunan yang istimewa bermanfaat. Salah satu sebab tidak teratasinya kemacetan itu adalah terlalu santunnya masyarakat Jogja. Kesantunan itu tidak ditempatkan pada tempatnya. Konsekuensinya, mereka hanya berjejal mengantri penuh santun dan sabar, tidak ada yang mendahului satu sama lainnya. Sehingga dalam keadaan seperti itu, semua kendaraan akan berhenti total jika tidak ada kendaraan yang mau mendahului dari salah satu arahnya. Santun itu baik, tetapi lebih santun jika kita bisa baik dalam menempatkan kesantunan kita. Islam Arab itu baik bahkan sangat baik di wilayah Arab dan sekitarnya. Namun, di Indonesia, islam Arab tak lebihnya hanyalah konsep terorisme yang radikal.zev.091013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar