Selasa, 01 Oktober 2013

Keluarga Baru, Paradigma Baru




          Selama lima hari empat malam berproses untuk menepi pada keluarga baru, saya harus terbiasa dengan bahasa “paradigma”. Kata itu sudah membumi cukup lama dalam benak. Pengertian simpelnya pun, sudah biasa terdengar di telinga saya. Namun kali ini, kata itu tidak sekedar berpengertian, tetapi berproses dalam benak. Paradigma bukanlah sekedar konsep berfikir maupun kerangka berfikir. Di dalamnya terlibat hukum dan juga metodologi dalam menuai sebuah konsep. Sehingga berangkat darinya lahirlah pergerakan yang berbasis akan paradigma kritis transformatif.
          Melalui keluarga baru ini, ada satu hal yang membekas dan semoga saja melekat selalu dalam benak saya. Yaitu mengenai vitalnya arti sebuah keluarga untuk memantik rasa percaya diri. Saya merasakan energi itu. Lima hari di godok, membuat panas dan gerah hati ini. Semangat saya terbakar. Persaingan intern sudah dimulai dan sedang berlangsung.
          Tadi malam adalah puncak dari lima hari saya dan keluarga baru. Suasana dibuat sedramatisir mungkin. Bertempat di wahana tak berpenghuni dengan penerang sekelumit lilin apa adanya di tengah malam yang sangat sunyi tak terpecahkan. Suasana pertama tak terlupakan selama satu bulan di Jogja saya berhenti di pagi hari tranggal 30 september 2013. Ada banyak nama yang turut melukiskan dera, suka, duka, dan bahagia dalam hati. Ada pula banyak mata pelajaran tanpa nama yang saya dapat pagi tadi. Sesuatu yang tidak saya dengarkan dari suara-suara merdu dosen di kelas. Istimewa.
          Dari malam itu, saya baru sadar betul, ternyata aplikasi akan paradigma kritis transformatif usai aku temukan dalam ritual yang NU banget itu. Pertanyaan-pertanyaan saya yang selama ini menggantung dalam ruang atas hatiku terjawab pelan-pelan. Sedari kemaren saya terbimbangkan akan satu tanya: kenapa saya harus terlibat dengan keluarga baru ini. Adalah tentang sebuah kepedulian, iya, sejenak, dari proses pengkaderan, saya bisa menyimpulkan, ini adalah tentang kepedulian. Saya suka itu.
          Dan jika saya hubungkan dengan sejarah paradigma kritis itu sendiri, tidak jauh berbeda. Istilah ini lahir berbasis pada 4 tokoh penting: Imanuel Kant, Sigmund freud, Marx, dan Hegel. Dan yang paling urgen tertuju pada Marx. Marx, dengan gerakannya membagi masyarakat menjadi kaum burjois (kaya) dan proletar (buruh). Dan berangkat dari itu, gerakan nyata marx adalah menghapus sekat yang memisahkan kedua kubu menjadi satu kaum proletar. Dan saya yakin marx melakukan atas satu alasan: kepedulian. Dari sejarah kepedulian marx inilah bisa jadi merupakan salah satu sebab mengapa dari awal sampai akhir prosesi final pengkaderan tadi pagi tidak lepas dari kata-kata peduli.
          Untuk saya pribadi, meski rasa nativisme ini selalu ada, keluarga ini tetap keluarga. Darinya saya belajar bagaimana harus mengikuti aliran air tanpa harus terhanyut. Saya tidak pernah mengerti teori yang pasti di dalamnya, bahkan tidak akan pernah tahu. Sebab, saya mulai belajar dari sebuah permasalahan, konfilk, cemburu, marah, dan...zev.301913

Tidak ada komentar:

Posting Komentar