Sabtu, 19 Oktober 2013

Kehidupan Kecil Masyarakat di Masa Muhammad (Konflik Mikro Sunni Syiah)



Hari ini Jogja semakin panas, dan sepertinya bukan hanya masyarakat jogja yang merasakan hawa tidak biasa ini. Kali pertama saya di Jogja, saya satu hari kedinginan tanpa arah. Saya terkapar di kamar teman saya. Panasnya Jogja hari-hari ini sepertinya tidak alami. Mungkin musim pancaroba.
Namun, panasnya Jogja dan panasnya kelas saya tadi, seakan tidak berarti sepenuhnya jika dibanding kehidupan masyarakat di masa Muhammad. Kebetulan mata kuliah Teologi hari ini berbicara tentang kehidupan kecil mereka. selayang pandang, dari uraian Bapak Zuhri, keadaan psiko-sosial yang ada di Arab 14 abad silam tidak berbeda dengan kenyataan sekarang. Masyarakat pada saat itu ternyata sudah terkotak-kotakkan, bukan lintas agama, tetapi dalam satu agama. Islam pra Muhammad, ketika dipegang oleh Abu Bakar ternyata sudah ada dua kelompok yang berseberang dalam pemikirannya. Sehingga darinya konflik berkepanjangan pun pecah.
Dua kelompok tersebut adalah ahlussunah dan syiah. Kelompok pertama di motori oleh Aisyah, Muawiyyah, dan lain sebagainya. Kelompok kedua eksis di dalamnya sosok-sosok yang fanatik terhadap Ali, sekali saya katakan, kelompok yang fanatik kepada Ali, bukan Alinya. Pada awalnya, kedua komunitas ini tidaklah terlalu mengemuka, saya membahasakannya: di era Abu Bakar ini keduanya masih berupa perbedaan gagasan-gagasan, masih embrio.
Sampai pada akhirnya, konflik keduanya memuncak. Dan puncak konflik kedua komunitas tersebut adalah dilengserkannya Ali dari jabatan Kholifah paska terjadinya tahkim antara pihak Muawiyyah dan Ali. Selepas dilengserkannya Ali, masyarakat bawah pecah, ada yang membela Ali dan ada pula yang keluar dari Ali. Sehingga berangkat dari itu, di dalam buku-buku sejarah MI sampai MA, tertulis: syiah muncul paska kinflik di atas.
Paralel dengan itu, jika dihubungkan dengan paragraf di atasnya lagi terjadilah benturan antara kedua sejarah tersebut. Jika yang dianut adalah versi yang kedua, syiah bisa jadi masuk dalam golongan-golongan ahlussunah. Akan tetapi jika mengaca pada versi yang pertama syiah tidak akan bisa masuk dalam golongan ahlussunah.
Dan disinilah poin penting saya menulis ini. Berbasis ini saya bisa sejenak menggenapkan keganjilan saya selama ini tentang syiah: apakah syiah itu ahlussuna atau tidak. Syiah bukan bagian dari ahlussunah.
Masih dalam satu ruang, jika dibahas lebih dalam, salah satu alasan saya menyimpulkan hal itu adalah tentang semua underbow yang ada pada ahlussunah. Menurut sejarah yang dikutip Bapak Zuhri dalam bukunya Pengantar Studi tauhid, bermula dari konflik kecil masyarakat Makkah waktu itu yang menelorkan ahlussunah, muncullah banyak sekali komunitas dan pemikiran. Di wilayah komunitasnya adalah qodariyah, Jabariyah, dan murjiah[1], kemudian di wilayah pemikirannya ada mu’tazilah dan asyariyah. Semuan pemikiran dan komunitas itulah yang disebut sebagai bagian dari ahlussunah. Semuanya berhulu kepada satu kelompok, yaitu ahlussunah.
Dengan demikian, antara syiah dengan ahlussunah sudah tidak bisa dipertemukan. Meski masih dalam satu payung—islam—mereka berjalan di relnya masing-masing. Keduanya mempunyai dasar, alasan, dan pemikiran masing-masing. Tidak ada yang perlu menyalahkan dan disalahkan.zev181013




[1] Dalam referrensi lain murjiah adalah pecahan dari komunitas khawarij. Sedangkan khawarij sendiri adalah komunitas yang mengecam ahlussunah dan syiah. Mereka menganggap keduanya telah berdosa besar karena tidak sesuai dengan Quran: berperang satu sama lain. Sehingga kesimpulan akhir kelompok khawarij adalah halalnya darah ahlussunah dan syiah bagi mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar