Senin, 25 November 2013

Muhammad SAW. dan Isa Al-Masih (al-rofiq al-a’la min al-jannah)



Selama ini, sering diketahui bahwa ucapan terakhir Muhammad SAW. sebelum menghembuskan napas akhirnya adalah ummati, ummati, dan ummati (Muhammad Muhibuddin, 2013: 7). Hal tersebut seakan sudah sampai di telinga kebanyakan orang sehingga banyak juga interpretasi mengenai makna lain yang tersirat dari ungkapan simpel itu. Ada yang memandang itu adalah satu potret ideal bagaimana seorang pemimpin itu harus menjadi dan beraksi. Selain itu, ada juga yang menilai—dengan itu—Muhammad adalah satu-satunya manusia yang layak dan pantas menempati tempat pertama di antara 99 manusia lainnya yang paling berpengaruh dalam sejarah versinya Bapak Michael Hart.
Namun, jika ditelaah lebih dalam mengenai kebenaran akan ucapan terakhir Muhammad SAW., maka ada sesuatu yang berbeda. Itu adalah tentang kata itu sendiri. dalam hadistnya Ahmad bin Hanbal dalam Masnadnya jilid II: 300, tertulis dengan jelas bahwa ucapan terakhir nabi bukanlah ummati, tetapi al-rofiq al-a’la min al-jannah. Dan dalam hal ini, ketika dilihat dengan kacamata lain, akan ada sesuatu yang lain pula.
Adalah tentang pengertian ucapan terakhir nabi tersebut. Keluar dari konteks makna filosofis—sebagaimana versi ummati diinterpretasikan—lafadz al-rofiq al-a’la min al-jannah, menurut Bapak Muhdlir memiliki konsep yang sangat dalam, bahkan melebihi dalam dan banyaknya makna tersirat yang disiratkan banyak pemikir tentang makna ummati dalam versi sebelumnya. Hal tersebut diartikan sebagai satu konsep baru tentang teologi. Dan diyakini, itu memiliki rate yang sama dengan konsep teologi yang sampai saat ini jamak dianut dalam kristen.
Dalam Kristen, dikenal ada Tuhan Bapa dan Tuhan Anak. Keduanya, meski dipandang sama-sama Tuhan, tetapi ada unsur hierarkinya. Dalam arti, antara anak dan bapak, keduanya memiliki derajat yang berbeda. Anak harus lebih menghormati bapanya, begitu juga dengan bapa harus menghargai anaknya. Keduanya berbeda derajat. Itu semua tentang konsep Teologi yang ada dalam kristen dengan satu nabinya, Isa Al-Masih.
Kemudian, beralih kepada konsep teologi dalam Islam yang berbasis pada ucapan terakhir Muhammad SAW. di atas. Al-rofiq al-a’la min al-jannah sama artinya dengan teman yang luhur dari surga. Dan hal itu menyebabkan ucapan tersebut dipahami sebagai sebuah konsep baru, yaitu Tuhan Teman. Mudahnya, berdasar kepada ucapan terakhir itu, Muhammad SAW. sepertinya layak dijadikan Tuhan kedua setelah Allah.
Sehingga dari kedua konsep ketuhanan di atas, sebenarnya, trinitas—yang selama ini populer dalam kristen—juga ada dalam Islam. Hanya saja, keduanya memiliki titik perbedaan, yaitu dalam hal hierarkinya. Jika dalam Islam, maka hierarkinya itu setara: antara Tuhan Teman—Muhammad SAW.—dan Allah memiliki derajat layaknya sejoli teman. Sedangkan, dalam kristen memiliki hierarki yang tidak setara, yaitu antara anak dan bapa. Dengan demikian, jika berbasis kepada catatan ini, antara Islam dan Kristen tidaklah berbeda perihal konsep ketuhannya: Tuhan Teman dan Tuhan Anak.

Menanggapi itu, dalam hemat saya, kedua konsep itu tidak jauh berbeda dengan cerita-cerita mengenai wihdatulwujud yang sering digambarkan sebagai alirannya Syaikh Siti Jenar. Dalam wilayah lain, keduanya lebih sesuai jika dipahami sebagai bentuk tasawuf dari Muhammad SAW. dan Isa Al- Masih. Akan tetapi, seandainya keduanya dibandingkan pun, sepertinya Muhammad SAW. lebih sesuati untuk dijadikan Tuhan Teman daripada Isa Al-Masih sebagai Tuhan Anak. Entahlah.Zev211113 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar