Rabu, 20 November 2013

Babi, Sapi, dan Pelanggan Nonmuslim


Alhamdulillah, Hari ini, saya ditraktir Jiyah, teman kampus saya, untuk makan di Ayam Penyet Surabaya cabang Jogjakarta. Dia minggu kemaren ulang tahun dan baru hari ini acara tahunan itu dirayakan. Di waktu yang sama, hal itu mempertemukan saya dengan orang-orang kelas atas yang sedang asyik menikmati menu yang telah disajikan. Dan hipotesis sementara saya, orang-orang—dalam pengamatan saya—yang kebanyakan sipit itu bukanlah muslim. Dan lagi lagi hal tersebut membuat saya diam sejenak: mengapa mereka tidak memilih restoran yang menyediakan babi saja ya? Bukannya banyak digemborkan daging babi lebih nikmat dan lezat? Entahlah, boleh jadi mereka sedang krisis keuangan dan memilih yang lebih murah.
Akan tetapi bukanlah masalah harga yang saya tekankan dalam catatan saya kali ini, namun mengenai daging babi yang menjadi salah satu makanan khas mereka. Daging babi menurut kepercayaan saya sebelum ini adalah suatu penyakit. Dalam arti, daging babi diharamkan secara jelas dengan alasan kandungan yang ada di dalamnya, yaitu adalah cacing pita. Dan dari cacing pita inilah, daging babi berpotensi mengandung banyak sekali penyakit yang sangat membahayakan bagi kesehatan manusia. Selain itu, itu diharamkan juga karena pola hidupnya yang sangat menjijikkan: hidup dilumpur dan makan kotorannya sendiri. Dan karena alasan itu pulalah mengapa babi diharamkan dalam Islam. Hal itu juga yang menurut keyakinan saya sebelum ini adalah illat hukum dari hukum haramnya memakan babi.
Kemudian jika saya hubungkan dengan paragraf yang pertama, maka ada sesuatu yang bagi saya sangat mengherankan. Itu adalah tentang orang-orang non-muslim yang sering mengkonsumsi daging babi. Pertanyaannya: mengapa mereka masih sehat seperti itu dan bahkan lebih bugar dari kebanyakan muslim yang sering berpuasa? Dan boleh jadi, gara-gara memikirkan jawaban ini saya tidak bisa menikmati sajian ayam penyet di depan saya tadi.  Dan sampai malam ini, kesimpulan yang saya dapat dari hal itu adalah kurang tepatnya illat hukum yang dijatuhkan kepada babi, karena, jika babi dikata seperti di paragraf kedua tadi, pasti umur mereka tidak akan lama. Akan tetapi kenyataannya berbeda: mereka baik-baik saja. Selain itu, seiring dengan semakin tingginya bangunan-bangunan perkotaan, sekarang banyak dijumpai peternakan-peternakan babi tempat babi dirawat layaknya kucing peliharaan. Di dalamnya mereka tidak lagi hidup dilumpur yang kotor dan makan kotorannya sendiri, namun hidup dengan kehidupan layaknya peternakan: lumpur yang sudah tersterilkan, makanan khusus babi, dan sebagainya. Dengan demikian, berdasar paragraf ini, alasan diharamkannya babi dengan alasan pola hidupnya yang seperti itu dirasa kuranglah tepat. Hipotesis itu menimbulkan satu pertanyaan susulan: lantas, apa yang dijadikan illat hukum diharamkannya babi kalau bukan hal itu?
Untuk itu, masih segar dalam ingatan saya tentang wejangan Bapak Muhdlir kemaren tentang illat hukumnya sapi yang diharamkan di agama Hindu. Di waktu itu juga, beliau menyangkutkan kata babi di dalamnya. Itu dijelaskan bahwa sebagaimana diharamkannya sapi bagi warga Hindu, diharamkannya babi itu sudah ada semenjak masanya Nabi Musa dengan warga Yahudinya. Dan menurut pendapat yang dijelaskan, alasan utama diharamkannya babi ketika itu adalah karena seringnya dewa-dewa yang menjelma menjadi babi atau merasuki raga seekor babi. Sehingga, bagaimanapun juga, sebab konsepsi Tuhan ketika itu adalah berwujud dewa, maka suatu hal yang bodoh jika mereka memakan daging Tuhannya sendiri. Meski itu hanyalah jelmaan. Akan tetapi entahlah.

Dan akhirnya, meski saya tidak bisa memberi kesimpulan, itu bisa dipandang bahwa kajian ulang mengenai illat hukum diharamkannya babi masih sangatlah penting. Di samping itu sebagai pengetahuan baru, itu juga bisa menjadi salah satu alternatif untuk menyikapi permasalahan beberapa tahun silam tentang fatwa haram MUI kepada produk Ajinomoto yang diklaim ada kandungan minyak babinya. Tidak menutup kemungkinan, hal serupa pasti ditemukan besok. Zev181113   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar