Selasa, 10 September 2013

Di Balik Kesendirian Muhammad Kecil


          Saat saya berkunjung ke rumah semua guru-guru MI atau bahasanya adalah lahir batin kepada beliau-beliau pada Hari Raya kemaren, saya terlibat sedikit diskusi tentang proses dan metode pembelajaran dalam MI saya dulu. Sampai saat ini asumsi saya masih sama dengan tujuh tahun silam: metode pengajaran MIS Kerek dominan dengan pemaksaan dan kekerasan. Meski saya sudah merasakan hasil hebatnya, tetap saja nalar logis saya belum bisa mengatakan kalau sistem itu baik untuk semua kalangan.
          Dan pada hari itu, lewat diskusi dengan Bapak Jarum, salah satu Wali Kelas VI MI dulu, saya mendapat sedikit jalan keluar akan kebuntuan pikiran saya tentang metode yang dipakai Mbah Hari dalam mendidik saya tempo dulu. Ternyata sangat istimewa, di luar dugaan saya. Jauh dari alam sadar saya, apa yang dilakukan mbah Hari selama ini tidak tanpa alasan. Dan melalui bapak Jarum saya mulia mengerti itu.
          Adalah tentang pengkosongan pikiran. Untuk mendidik seorang anak agar bisa menuruti dan mengingat semua yang ada dalam materi dan tujuan pembelajaran, pikiran yang bersangkutan harus bersih dari pikiran-pikiran lainnya. Bapak Jarum menyebutnya sebagai proses pendoktrinan. Sehingga ketika pikiran yang bersangkutan tadi sudah dikosongkan dengan cara tertentu, data yang akan disampaikan tadi akan sangat mudah menancap dalam pikiran dan hati si anak. Ternyata, mbah Hari telah sukses melakukan ini. Beliau menerapkannya dengan kebeliaunnya sendiri.
          Ingatan saya masih segar, tentang tujuh tahun silam saat saya terlambat masuk ngaji subuh di pesantren Hidayatul Mubtadiin. Saya hanya terlambat tiga menit tapi marahnya kepada saya bukan main hebatnya. Di waktu yang sama, pikiran saya down sekali, seketika itu juga ingin rasanya tidak ngaji untuk selamanya, umur saya yang masih dua belas tahun seakan mendukung jiwa saya untuk memberontak. Tetapi uniknya, paskatragedi, beliau selalu memberi kami wejangan yang terkait dengan kesalahan kami. Dan salah satunya, yang masih saya ingat sampai sekarang adalah salah satu ayat Quran: walladzina jaahadu fiina lanahdiyannahum subulana. Saat itu saya masih belum tahu kalau itu berbasis pada pemikiran yang menarik dalam dunia pendidikan.
          Melalui cerita singkat di atas, tidak salah jika Bapak Jarum mengatakan kalau metode pengajaran mbah hari ini istimewa. Mbah hari bisa mengosongkan pikiran anak didiknya terlebih dahulu (dengan memarahinya tanpa sebab yang pasti) baru memberinya data-data yang dianggap sangat vital untuk disampaikan (wejangan rutin yang selalu ada paskatragedi). Ibarat menanam jagung, tanah yang akan di isi tunas jagung haruslah digali terlebih dahulu, di bersihkan baru diberi tunas. Pertumbuhannya akan tidak stabil jika saat menanam tidak digali terlebih dahulu.
          Dalam pendekatan historis, metode ini sebenarnya sudah sangat familiar. Semua muslim mengerti kalau Rosulullah lahir tanpa hadirnya seorang ayah yang melindunginya dan seorang ibu yang menyayanginya. Muhammad kecil lahir dalam keadaan yatim piatu, dalam keadaan tersesat, dan dalam keadaan miskin (Ad-Dluha). Dalam hal sentuhan jiwa dan pikiran, Muhammad kecil masih putih bersih. Tidak ada doktrin sedikitpun dari kedua orangtuanya yang menyentuh palung pikiran dan jiwanya. Dan dalam pendekatan ini, Allah memang sengaja membuat Muhammad tanpa ayah dan ibu agar DIA bisa mendoktrin pikiran Muhammad kecil secara privat. Sehingga semua yang ada dalam diri seorang Muhammad adalah murni dari Allah.
          Kemudian, jika saya membandingkannya dengan metode pengajarannya mbah Hari, saya menemukan beberapa persamaan. Salah satunya adalah tentang pengkosongan pikiran. Pikiran yang kosong, serumit dan seradikal apapun data yang dimasukkan ke dalamnya, pasti akan sangat mengena dan tidaklah sulit.zev.100913
         

          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar