Sabtu, 21 September 2013

Kristen: Dirangkul atau Dipukul




Sore ini saya pertama kali keluar dengan teman perempuan. Keadaan Malioboro sangat menghibur hati saya, mungkin juga hatinya. Sehari penuh suasana rumah mewarnaiku hanya dengan satu warna, sore ini penorama sore Jogja memberiku jutaan warna. Salah satunya adalah warna damai kota ini yang sangat kental.
Berbincang tentang damai, saya teringat Salah satu kata pengantar dalam bukunya Ibu Irenne Handono. Intinya, si penulis sangat menyayangkan keadaan dari kaum muslim yang sangat pasif terhadap teror barat, dalam tanda petik adalah para kaum salib. Bahkan tidak jarang dari cendekiawan muslim malah mendukung barat. Banyak buku referrensi pun diambil besar-besaran dari barat. Tersirat, si penulis menginginkan agar kaum muslim muda, tua, cendekiawan, awam, dan lain sebagainya bertindak frontal dengan mereka. Jika dihina, balasannya juga harus menghina. Saya tidak setuju dengan ini.
Mengalah bukanlah kalah. Kalah pun tidak harus membuat-buat seolah tidak kalah. Hari ini tidak bisa dipungkiri, dari banyak lini, islam berada di garis kekalahan. Apalagi dalam bidang intelektual dan riset. Sehingga akan sangat tidak bijaksana jika kita tidak mengakuinya. Alangkah lebih baiknya jika kita tidak enggan untuk belajar dari mereka. kita mengalah bukan untuk sekedar kalah, tetapi mengalah untuk belajar. Dan jika kita dalam pengambilan referrensi dari barat pun dicerca, akan jadi apa islam.
Menurut Ibu Irenne, bagaimana pun usaha kita untuk membuat hati diantara kita dengan mereka damai, itu sangat sulit. Semuanya usai termaktub dalam banyak ayat di al-Quran salah satunya dalam Ali Imran ayat 118. Minimal kebencian itu ada di palung hatinya.
          Ternyata dibalik kedamaian yang saya rasakan kentalnya di jalan malioboro tadi, menyimpan banyak sekali misteri. Pengguna jalan bukan hanya dari muslim, banyak orang-orang asing juga terlihat berjejal sepanjang jalan malioboro. Jika semua isi hati masing-masing dari setiap pengguna jalan, baik yang muslim maupun non muslim, dapat terlihat, saya yakin, keadaan malioboro tidaklah seperti tadi sore. Saya kira itu. Akan lebih baik jika semua perasaan iri dengki dan lain sebagainya muncul dalam hati kita, iya cukup dalam hati saja.
          Pun, meski dari satu pihak ada yang frontal tidak harus dihadapi dengan frontal. Adapun mengenai hasil nyatanya adalah keadaan di sore jalan malioboro tadi. Keadaanya nyaman, satu sama lain bisa saling merangkul, tanpa harus peduli ada banyak diluar sana yang kehilangan keluarga, nyawa, darah, dan lainnya hanya karena pernyataan kebencian hati mereka yang diluapkan secara nyata.
          Sepertinya, al-Imam Abdullah bin Alawi al-Haddad juga pernah memikirkan hal yang sama dengan Ibu Irenne. Kedengkian mereka tidaklah harus kita lawan secara frontal, sampai-sampai pada pelarangan belajar dari barat. Semua itu malah mengkerdilkan islam.
          Dalam karya hebatnya: ratib al-Attas, Imam Abdullah, di bagian tawassulnya, dengan jelas menulis ila hadlroti al-muhajir ila allah ahmada ibn isa setelah menyebut nama muhammad di awalnya. Kenapa harus menggunakan istilah Ahmad bin Isa. Kalau memang yang dimaksud beliau adalah nabi Muhammad, mengapa tidak Ahmad bin Abdullah. Saya tidak tahu secara pasti. Hipotesis saya: itulah sastra Imam Abdullah dalam menghargai umat kristiani. Dengan mensejajarkan antara Nabi Muhammad dengan Nabi Isa yang bagi mereka adalah Tuhan. Sehingga, bisa jadi Imam Abdullah sangat mengingkinkan kita untuk tidak balik membenci kaum kristiani dalam keadaan apapun. Minimal, kebencian itu hanya sebatas benci dalam hati. Akan tetapi “muslim harus senantiasa belajar dari yang terbaik untuk menjadi yang terbaik”.zev.210913



Tidak ada komentar:

Posting Komentar