Senin, 09 September 2013

PKB: Kami Tidak Menggantung Mahfudz ataupun Rhoma, Kami Hanya Menunggu Finalisasinya.


          Saya sadar sekali, saya tidak terlalu faham tentang percaturan politik beserta taktik dan peraturannya. Untuk saat ini, saya hanya tahu kalau politik ada untuk partai. Dan partai ada untuk mencalonkan presiden. Intinya, melalui partai politik ini diharapkan bisa mengkader calon-calon pemimpin bangsa secara kontinyu. Sederhananya, partai politik adalah tempatnya para generasi-genarasi yang siap memimpin dan dipimpin.
          Hari ini saya heran. Hampir dari semua berita yang ada dalam rubrik politik, para Ketum partai cenderung membincang serta mengunggulkan sosok yang bukan bagian dari partainya. Saya tidak tahu apakah itu memang sudah menjadi sebuah keharusan ataukah hanya stategi hebat dari para pemimpin kita, saya belum tahu. Dari partai PKB misalnya. Bapak Muhaimin Iskandar dengan semangatnya mengatakan bahwa PKB akan mengusung Mahfudz dan Rhoma. Tentang kapabilitas keduanya, saya tidak meragukannya. Mereka adalah sekian dari tokoh-tokoh yang berpengaruh di Indonesia. Tapi yang saya sayangkan di sini adalah mengenai keadaan partainya sendiri. Dalam benak saya bertanya: apakah dari PKB sendiri tidak ada calon untuk diusung, sehingga memilih yang lain. Rumput tetangga lebih asyik kayaknya.
          Tidak itu saja, dari partai PDI juga tidak mau kalah dalam strategi ini. sepertinya strategi unik ini sudahbooming di pertengahan 2013. Sedari kemaren Ibu kita Megawati mengajak Jokowi untuk bertemu. Dan diberitakan keduanya membahas mengenai PILPRES 2014. Isunya Jokowi memiliki nasib yang sama dengan Mahfudz MD. Selain itu, dari kubu PAN tidak mau kudet. Mereka melihat Rusdi Kirana: pendiri perusahaan penerbangan Lion Air, sebagai sosok yang pas untuk mengimbangi Mahfudz, Rhoma, dan Jokowi. Para elit partai-partai ini tenggelam dalam persaingan lucu. Jika dalam lomba makan kerupuknya anak-anak TK, para pesertanya tenggelam memperjuangkan dirinya sendiri untuk menjadi pemenang, minimal untuk ibu yang mengantarnya. Kalau ini tidak, para elit partai bersaing memperjuangkan orang lain. Sepertinya, sekarang partai sudah tidak lagi tidak mempunyai generasi para pemimpin, tapi memang sengaja hanya memproduksi generasi pencari pemimpin. Mungkin mereka terinspirasi oleh google, mesin pencari terhebat.
          Saya teringat konsep demokrasinya Tan. Tan mengecam konsep demokrasi utuhnya Soekarno yang mengizinkan siapapun bisa masuk dinding politik atau bahkan terlibat di dalamnya. Di waktu itu, mungkin konsep Soekarno sangat cocok karena mayoritas elit politiknya masih enggan untuk dibayar. Mereka kerja semata-mata untuk Indonesia. Konsep itu baik sekali pada waktu itu. Tetapi tidak untuk 2014.
Seiring bergulirnya zaman, ternyata saya baru sadar. Pemikiran Tan tidak boleh dipandang sebelah mata. Awalnya saya memandang rendah sekali pemikiran tokoh kiri kemerdekaan ini. Namun kalau sudah dihubungkan dengan isu perpolitikan sekarang, Tan benar. Demokrasi sepertinya perlu dinding pembatas, Agar tidak ada yang seenaknya saja mencalonkan diri atau mencalonkan orang lain dalam menahkodai bangsa ini. “Rakyat bebas dalam menyampaikan aspirasinya tapi hanya sebatas aspirasi, tidak masuk pada ranah perpolitikan bangsa”, kata Tan. Konsepsi demokrasi yang sesuai untuk hari ini.
Dalam pendekatan sejarah, saya kira mantan presiden-presiden Indonesia semuanya bukan dari luar partai. Semuanya adalah tokoh partai itu sendiri kecuali bapak B.J. Habibi. Dari mulai Bapak Soekarno, murni pentolah PNI. Bapak Soeharto dari GOLKAR, bapak Abdurrohman Wahid dari PKB, Bu Megawati dari PDI, dan Bapak Susilo Bambang Yudhoyono, mantan Ketum partai demokrat. Semuanya adalah tokoh berpengaruh partai itu sendiri. Masyarakat akan memandang stabil jika yang dicalonkan adalah dari bagian partai itu sendiri. Berarti, partai tidak mengalami disfungsi. Partai masih berguna seperti adanya partai sebagai wilayah pengkaderan calon pemimpin bangsa.
Berbasis itu, sepertinya tidak ada yang salah jika saya mengatakan bahwa partai-partai sekarang pesimis dalam menghadapi persaingan yang semakin berat ini. Saya sangat yakin para elit-elit partai bukanlah orang biasa, mereka istimewa, dan pemikiran jangka panjangnya pasti lebih baik dari yang lainnya. Tapi bagaimanapun juga dengan tindakan seperti yang diberitakan tadi, masyarakat awam pun pasti akan mengatakan jika partai sekarang sudah tidak mempunyai kader. Dalam bahasa saya partai-partai sekarang malah seperti partai.
Hemat saya, alangkah lebih baiknya jika para calon-calon presiden itu sudah dikader sedini mungkin di dalam partai dimana dia mengabdi. Dan hanya dari situlah layaknya partai mengusung CAPRES, tidak dari sosok lain yang hanya mempunyai “nama tenar” di setiap siaran televisi kerakyatan.
Sehingga keputusan Kemendikbud mengenai pendirian Fakultas Politik di setiap kampus di Indonesia tidaknganggur. Para mahasiswa politik pastinya ingin menjadi pemimpin melalui fakultas ini. Dan jika dengan seenaknya saja Parpol mengusung CAPRES dari golongan non-politik, lantas mengapa juga Fakultas Politik didirikan. Semua mahasiswa politik tidak belajar untuk meneriakkan siapa mereka dihadapan bangsa tapi meneriakkan siapa saya. Mereka belajar untuk dirinya sendiri dan bangsanya sendiri.zev.090913  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar