Kamis, 12 September 2013

Indonesia, Islam, dan Perdamaian

          Pagi ini saya dapat dibilang kudet. Saya tidak tahu kalau hari ini ada Studi Generale di Conventional Hall. Seminar itu tercipta hanya untuk warga Ushuluddin, dan membahas tentang Islam Damai dan Indonesia damai. Pemateri utamanya langsung dari para mantan-mantan agung Indonesia. Mantan Ketum Muhammadiyah: Bapak Syafii Maarif dan Mantan Rois Surya NU: bapak Hasyim Muzadi. Mereka luar biasa dalam pemikiran dan penyampainnya. Dan pemateri yang produk dalam negeri UIN ada Ibu siapa, saya lupa. Beliau termasuk spesialis radikalisme dan islam-islam garis keras. Seminar yang menarik mimpi.
          Sepanjang saya memperhatikan dan meringkas dari semua yang di paparkan, ada beberapa poin yang saya belum bisa menanyakannya. Tadi moderator tidak melihat saya ketika mengangkat tangan untuk memenuhi keraguan saya itu. Itu mengenai Islam Indonesia sendiri.
          Dari Bapak Syafii, saya menemukan sesosok yang unik dan istimewa. Dia menyajikan arti sebuah sekularisme dengan sajian yang sangat sederhana dan dapat diterima semua kalangan. “orang suriah yang pro Assad saat menembak para oposisi (sesama muslim) itu mengucapkan bismillah. Mereka memaksa Tuhan untuk membela mereka. Dan inilah yang namanya sekular dalam arti yang sebenarny”, kira-kira itulah core yang dapat saya ambil dari Bapak Syafii.
          Kedua adalah bapak Hasyim muzadi, sesosok yang bagi telinga saya sangatlah familiar. Tapi baru kali pertama ini saya bertemu langsung dengan beliau. Pemikiran beliau sangat liar, cara penyampaiannya juga liar. Saya suka gayanya. Saya mendapat banyak sekali jawaban dari beliau. Pertama, tentang pemimpin di zaman kontemporer ini. Pemimpin sekarang cenderung berbasis pada iklan bukan berbasis pada perjuangan. Pun sering saya bertanya-tanya: di Indonesia ini sudah cukup banyak orang-orang yang sadar betul akan minus bangsa ini dan mereka juga sudah meneliti betul tentang solusinya, namun kenapa sampai saat ini masih jalan di tempat. Kalau tokoh sekaliber Bapak Muzadi sudah lawas menyadari tentang corak kepemimpinan bangsa yang seperti ini, mengapa tidak ada usulan yang melarang adanya kampanye atau sejenisnya. Saya tidak tahu, yang pasti saya sangat yakin merek lebih tahu tentang keadaan sebenarnya di ruang-ruang para pejabat berdasi.
Kedua, adalah tentang refleksi tentang bagaimana memandang islam dalam arti yang sesungguhnya. Bapak Hasyim menyatakan dengan lantang bahwa Islam itu sudah benar jadi tidak perlu dibenarkan untuk kali kesekiannya. Justru ketika dicoba untuk selalu dibenarkan, Islam malah jauh dari kebenaran itu. Islam itu hanya membutuhkan Ukhuwah bukan wihdah. Wihdah yang mengandung banyak hegemoni tentang pembenaran islam yang sebenarnya itu justru akan menjadi bom waktu bagi islam sendiri.
          Ketiga, beliau menyinggung banyak sekali kenyataan-kenyataan di Indonesia. Dari prolog sampai epilognya semua membahas tentang borok-borok Indonesia. Indonesia belum sembuh dari sakitnya. Pun lembaga yang dinaungi Islam turut terserang penyakit ini. Sekarang bukan formalitas yang ada dalam syariat tapi syariatlah yang ada dalam formalitas. Banyak syariat yang jebol dalam keformalan. “sekarang sila pertama itu diganti: keuangan yang mahakuasa”, simpul bapak Hasyim.
          Dari pendapat yang sangat mengirikan Indonesia itu, saya merenung sebentar tentang tema dari seminar ini: Islam Indonesia, Islam Damai. Sederhananya semua ini mirip dengan kesimpulan Gus Dur tentang pribumisasi Islam. Untuk menjadikan islam itu rahmat bagi kita selaku orang Indonesia yang beragama Islam, hanyalah dengan tetap menjaga budaya Indonesia yang islam bukan budaya Arab yang Indonesia.
          Sehingga jika saya koneksikan paragraf di atas dengan paragraf sebelumnya, akan ada terlihat sesuatu yang ganjil, bagi saya. Pertama Bapak Hasyim menjelaskan bahwa sekarang Indonesia sudah tidak genap. Banyak bagian dari Indonesia sudah sakit, termasuk pada ranah kebudayaannya. Dengan demikian, apakah Pribumisasi Islam yang katanya sebagai core poin akan Islam Damai itu masih bisa diterapkan. Toh sendi-sendi inti budaya istimewa Indonesia telah terkontaminasi atau bahkan dirusak oleh budaya-budaya interlokal. Saya lebih setuju pada islamisasi islam. Kembali pada arti islam dalam arti yang sesungguhnya.zev.120913 

          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar