Senin, 16 September 2013

Mengislamkan Sejarah Muslim Indonesia


Pertama saya membaca kembali judul di atas, saya merasa kalau itu terlalu berat pembahasannya. Akan tetapi, saya juga tidak tahu kenapa saya masih saja ingin menuliskannya. Saya terinspirasi satu judul tulisannya bapak Dahlan di Manufacturing Hope Jawa Pos tadi pagi: yang sulit-sulit bisa, yang mudah sulit. Iya, judul itu sangat menarik hati saya.
Saya kali pertama terinsiprasi menulis catatan ini adalah karena pengalaman teman-temanku yang sering sekali saya menjadi pendengar setia mereka. Hampir setiap malam mereka pasti share cerita tentang kisah cinta masing-masing. Dan dari semuanya, saya bisa menyimpulkan kalau ternyata cinta itu bisa tumbuh seiring dengan berjalannya hubungan. Dalam arti, mayoritas dari mereka menjalin hubungan itu hanya berasaskan coba-coba. Dan dalam hal ini sepertinya konsep klasik perjodohan  mendapatkan dukungan. Perjodohan itu hanya mengandalkan cinta yang tumbuh karena keadaan. Keadaan yang memaksa seseorang untuk apa adanya menerima seseorang yang dijodohkannya tadi. Dan pastinya untuk menumbuhkan perasaan tadi semuanya membutuhkan waktu. Berbeda dengan sebuah hubungan yang dari pertama memang sudah berbasis kasih dan sayang. Dari keduanya, saya dominan pada yang terakhir. Cinta itu harus berawal dulu, harus mempunyai sebab, dan kita tahu sebab itu. Sehingga terkesan kita bukanlah korban dari keadaan maupun kondisi.
Di pagi tadi, saat saya lari pagi, seperti biasanya, saya teringat kembali tentang perjodohan itu. saya berfikir: kayaknya permasalahan ini tidak jauh beda dengan tanda tanya besar saya tentang islam turunan kemaren. Di mata saya, hampir semua muslim di Indonesia adalah islam turunan. Mereka beragama islam bukan karena keinginan mereka sendiri. Saya mengatakannya mereka semua termasuk saya adalah korban perjodohan oleh orangtua kita. Perjodohan dengan islam. Kita dijodohkan dengan islam. Terlepas dari anugerah, jika saya kaitkan dengan paragraf sebelum ini, selamanya kita akan terus menjadi korban perjodohan. Setidaknya kita harus mencari tahu: apakah memang jodoh kita ini usai menjadi yang terbaik buat kita atau belum.
Sebenarnya hal ini sangat remeh dan bahkan mudah untuk dipatahkan dengan alasan lainnya. Salah satunya adalah hipotesis teman-teman saya saat diskusi di kelas bahasa kemaren. Pendapat yang mendominasi hanya berputar-putar dalam wilayah keyakinan. “itu adalah ranah keyakinan kita masing-masing. Dan itu bukan untuk diperdebatkan”, kata salah satu anggota diskusi. Ada juga yang lebih ekstrim: itu hanya membawa kita pada dinding kemurtadan. Sangat ekstrim bagi saya.
Dalam benak saya, di tahun 2013 ini dikotomi antara urusan agama dengan umum tidak hanya perlu dihapus dalam wilayah legalitas formal kenegaraan saja. Dalam wilayah hati dan pemikiran juga perlu dihapus. Saya teringat materi yang disampaikan Bapak Hidayat Nur tadi pagi. Beliau mengutip pendapatnya Glock dan Stark mengenai 5 dimensi keagamaan. Dari kelima dimensi itu tercantum dimensi keyakinan dan pengetahuan. Dalam pemahaman yang saya tangkap, Glock dan Stark berusaha untuk menyinambungkan antara ilmu dan agama, antara keyakinan dan pengetahuan.
Iya, sekarang sudah saatnya kita mengaitkan antara keduanya. Agama tidak lagi seperti dalam filsafatnya Bapak Jujun: bermula dari keyakinan, dikaji, dan baru keraguan atau kembali pada keyakinan yang berbeda, tidak. Namun agama harus di dasari dulu dengan keraguan, kita kaji, dan baru kita bisa yakin apakah itu memang jodoh yang terbaik buat kita atau sebaliknya.
Dalam hal ini Bapak H.A. Mukti Ali: mantan Rektor UIN SUKA, turut mengamini pendapatnya Glock dan Stark tadi. Bahkan  dalam bukunya, beliau menuliskan lebih detail. Beliau menyebutnya sebagai konsep sintesis. Beliau mengemukakan metodenya tentang bagaimana caranya mempelajari agama. Beberapa sifat terpenting dalam agama adalah doktriner dan scientivic. Antara keduanya memiliki pengertian yang jauh berbeda: antara sesuatu yang masuk akal dan tidak masuk akal. Dan di sinilah poin penting dari konsep sintesis milik bapak Mukti Ali tadi. Beliau mencoba untuk memadukan keduanya. Sehingga agama tidak dipandang cukup terlibat dalam wilayah keyakinan saja tapi dalam wilayah pengetahuan juga perlu terlibat.
Dan kalau sudah begitu, ketika kita tahu bahwa islamnya mayoritas muslim Indonesia hanya berbasis pada perjodohan oleh orangtua masing-masing individu, saya kira, kita perlu untuk kembali mengislamkan sejarah islam kita. Meskipun toh tanpanya kita akan baik-baik saja, setidaknya melalui kajian ulang tentang keislaman kita, kita akan lebih nyaman menjadi seorang yang beragama. Dan pastinya kita akan lebih mengerti kenapa islamlah jodoh terbaik buat kita.zev.160913

Tidak ada komentar:

Posting Komentar